Kampanye dimana-dimana, para simpatisan dan caleg mengemukakan janji manisnya dihadapan banyak rakyat, apakah perlu dipercaya?
Pada zaman sekarang semakin ramai orang
berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga
menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut
paham atau prinsip ini, tidak lengkap
rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau tidak pernah (meski sekali)
menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.
Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang
sebagai sebuah "aset", karena ia baik langsung maupun tidak langsung
berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan
setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran menjadi kepala
daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur dan
sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan
politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan
sampai kepada artis.
Mereka berebut mengejar jabatan tanpa
mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan
layakkah dirinya memegang jabatan (kepemimpinan) tersebut. Parahnya
lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar tentang
hakikat kepemimpinan itu sendiri. Karena menganggap jabatan adalah
keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan
popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan,
pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.
Hakikat kepemimpinan
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur
sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang
pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang
hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran
bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya,
tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q.
S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya
dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim
melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan
menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari
keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji
(amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang
diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan
kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam
menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan
seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri,
bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin
sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan
kemewahan di dunia.
Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW,
Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan
ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan
di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap yang sama
juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada
beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami
jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka
jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada
suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan
itu".(H. R. Bukhari Muslim).
Kedua, kepemimpinan menuntut
keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih
kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara
bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak
yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa
memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad
(38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka
berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu".
Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin
(2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus
dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga
dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisaâ 4): 5, "Hai orang-orang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu".
Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa
adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain.
Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk
mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus
kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).
Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat).
Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi
sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian,
hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan
bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani
umat/masyarakat.
Kriteria pemimpin
Para pakar telah
lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat
kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi
pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh
para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu
kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam
melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu
kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya
apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya,
terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah,
yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi
dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4).
Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas
segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi).
Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).
Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan
sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya
terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73.
Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan
mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32):
24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat
seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam
diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir
kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu
menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk
Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk
dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi
mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain
tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu
mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah
masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense
of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali
merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir
sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan.
Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka
(pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan
sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan
umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam
diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang
mantap tertanam di dalam dada mereka.
Sifat-sifat pokok seorang
pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat
untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah
salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun
wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah).
Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur
urusan-urusan duniawi.
Memilih pemimpin
Dengan
mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan
sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka
kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan
Hadits.
Ali Imran Ayat 28:
“Janganlah orang-orang mu’min
mengambil orang-orang kafir menjadi wali*) dengan meninggalkan
orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia
dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu
terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”
*)Wali = Pemimpin
AL Maidah ayat 51:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.
Kaum muslimin yang benar-benar beriman
kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk
memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan
agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai
bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas
pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang
mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus
selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah
"cerminâ" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang
berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin
kalian".
Sikap rakyat terhadap pemimpin
Dalam proses
pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain
selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah
masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka,
mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah
saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau)
dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya
tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)".
Di
lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan
penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus
kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti
(kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah
mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S.
At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat
mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada
kaum mukmin.
Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan
bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih
pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan menjadi
pemimpin yang baik dan benar.(*)