Rabu, 21 Mei 2014

Kusaksikan Allah Berkalam



Aku menyusuri sepanjang jalan yang ada di komplek perumahan menuju kantor tempatku bekerja. Kubangan dan jalan yang masih basah membuatku menjaga langkah. Di hari yang masih agak mendung itu tampak beberapa pasang mata yang memandangku cukup sengit. Ada riuh yang kurasakan.
“Eh- Eh, Bu. Hati-hati! Jangan dekat-dekat sama perempuan itu. Nanti ketularan sial lho. Nanti mati lho! Hihihihi”.
Astaghfirullah. Hati ini terasa sakit sekali. Kutengok mereka sesekali. Wajahnya seperti seekor singa yang siap menerkamku dengan garang. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak melihatku yang tidak berdaya membalas kicauan mereka. Aku mulai tidak tahan sehingga kupercepat langkahku.
Akhirnya aku sampai di ruangan kerja yang sudah mulai penuh dengan aktifitas. Sementara itu teman-teman heran melihatku yang berangkat ke kantor dengan bentuk yang tidak karuan dengan mata yang mulai sembab.
“Assalaamu’alaykum, ukhti sholihah”, sapa teman kerjaku yang juga sahabatku, Sofia.
“Wa’alaykumussalam”, kujawab salamnya dengan ketus.
Kusungkurkan kepalaku di atas meja kerjaku. Kuambil tisu untuk menghapus airmata yang sudah tak bisa kubendung. Aku menangis berteman hujan yang mulai turun perlahan.
“Nis, ada apa? Kenapa kamu menangis?”
Aku tak menjawab pertanyaan dari Sofia. Aku hanya menggeleng dan masih mengusap tetesan-tetesan air yang jatuh ke pipiku.
“Ada masalah?”, Sofia bertanya lagi. Aku bangkit dari posisiku lalu memeluknya. Ia menyambut pelukanku lalu menatap mataku.
Sofia mengulangi pertanyaannya, “Ada masalah?” kali ini aku mengangguk.
“Sof, apa aku pembawa sial?”, tanyaku padanya.
Sofia terlihat terkejut dengan pertanyaan yang kulontarkan. Ia mengernyitkan dahinya dan jawaban dari pertanyaanku juga belum tampak di wajahnya yang teduh, sangat keibuan. Aku mengenal Sofia sejak aku menjadi karyawan baru di sebuah kantor percetakan yang sekarang menjadi ladang kami mencari rizki. Wajahnya yang tirus cocok untuk semua jenis jilbab. Itu membuatnya selalu tampak cantik. Matanya yang kecil dihiasi kaca mata yang membuatnya tampak semakin manis dan menunjukkan kedewasaannya.
Aku kembali duduk di tempat kerjaku. Dengan tisu yang masih kugenggam dan wajah yang lumayan belepotan, kumulai bercerita pada Sofia.
“Tadi waktu aku berangkat ke kantor, ibu-ibu di komplek perumahan memandangiku dengan sinis. Kata mereka, aku pembawa sial. Aku bikin orang mati. Buktinya semua laki-laki yang mengkhitbahku meninggal dunia. Ini semua memang salahku. Aku memang pembawa sial”.
Sofia yang sedari tadi serius menyimak ceritaku mengembangkan senyumnya kemudian berkata, “Nis, semua itu takdir dari Allah. Sudah dituliskan oleh-Nya di Lauhul Mahfudz. Bukankan setiap jiwa akan merasakan mati?”
Aku mengangguk. Sofia melanjutkan perkataannya sambil mendekapku, “Hanya saja kita tidak pernah tahu kapan dan seperti apa kita meninggal. Sudah menjadi takdir Allah bahwa semua calon suamimu meninggal setelah mereka mengkhitbahmu. Itu bukan karena kamu yang membunuh mereka atau membuat sial. Tapi, memang sudah jalannya dari Allah. Mereka hanya menyangkut-pautkan saja. Kamu yang sabar ya. Memintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, karena sesungguhnya Allah beserta dengan orang-orang yang sabar”.
Alhamdulillah hatiku cukup tenang. Namun tak bisa kupungkiri bahwa diri ini merasa bersalah. Bagaimana tidak? Aku sudah pernah dikhitbah oleh tiga orang pria yang dikenalkan oleh keluargaku dan mereka semua meninggal setelah hubungan kami sudah berjalan. Pria yang pertama dan kedua meninggal karena kecelakaan. Sedangkan pria ketiga, Faris Fahmi, seorang ikhwan yang juga merupakan seorang motivator muda meninggal karena sakit pada satu pekan sebelum pernikahan kami berlangsung. Padahal pada pria ini kulabuhkan hatiku. Ia seorang yang baik, santun, dan sholeh. Namun memang hanya Allah yang berhak menguasai hati ini. Allah belum mengizinkan hati ini termiliki oleh siapapun.
Karena peristiwa itu orang-orang menjulukiku sebagai perempuan pembawa sial. Dari peristiwa itu pula belum ada pria yang bersedia menjadikanku sebagai istrinya. Aku sadar mungkin memang aku bersalah dalam hal ini. Salah besar.
***
Malam ini setelah kutunaikan shalat maghrib, kurebahkan tubuhku di atas kasur kesayanganku. Aku sendiri di kontrakkan kecil ini. Jauh dari keluarga karena mengadu nasib di Jogjakarta. Tampak dari jendela mega-mega jingga yang mulai mengantarkan burung-burung kembali ke peraduannya. Langit terlihat begitu cerah. Sama sekali tidak menampakkan raut kesedihan dan kekecewaan atas hari ini yang cukup menjemukanku. Perlahan mata ini mulai terpejam. Namun ponselku bergetar sehingga cukup membuat mataku kembali terjaga.
Ddddrrrrrrtttt...... ddddrrrrrrttttt.......
“Dari nomor yang tidak kukenal”, gumamku dalam hati. Aku tak membuka pesan masuk itu. Berkali-kali ponselku bergetar dan masih dari nomor yang sama. Aku mulai jengkel hingga akhirnya kuputuskan untuk membukanya.
“Wajahmu tidak pantas jika berteman dengan kesedihan. Bidadari surga, tersenyumlah meskipun sekeras apapun luka itu”.
Aku mengernyitkan dahiku membaca pesan singkat itu. Sama sekali aku tidak faham dengan apa yang disampaikan sang pengirim pesan.
“Maaf, ini dengan siapa ya?”
Sudah tiga puluh menit aku menunggu balasan dari nomor itu namun tidak ada balasan. Hingga tiga puluh menit selanjutnya kuyakin pesanku dibalas.
“Saya, hanya seorang yang tidak tahu diri, yang sudah sejak lama mengagumimu”
Aku merasa semakin kacau. “Hmmm, mungkin hanya dari orang iseng”, batinku. Kulupakan pesan masuk dari orang misterius itu. Kuputuskan untuk beristirahat dan melupakan semua kejadian yang terjadi hari ini.
***
Ahad yang kunanti-nanti. Seperti biasa kurapikan rumah kontrakkanku yang telah disambut oleh cahaya mentari yang berkilau masuk melalui celah-celah lubang kamarku. Kutata setiap pola yang ada di rumah mungil ini. Kusapu setiap ruang dan pojok hingga bersih dan rapi. Langkah dan pandanganku terhenti saat melihat sebuah foto yang berhiaskan figura cantik disetiap tepinya. Di foto yang tidak begitu besar itu ada potret ayah, ibu, kedua adikku dan pria yang pernah berjanji untuk menjemputku menjadi bidadarinya, Fahmi. Kumenghela nafas cukup panjang. Kupandangi setiap gambar yang terpotret dalam bingkai foto itu. “Ya Allah, lindungi orangtuaku, kedua adikku dan mas Fahmi. Beri ia tempat terindah di surga-Mu. Aamiin”.
Beres. Semua sudah tampak cantik. Aku merebahkan tubuhku di sofa yang berada di ruang tengah sekedar untuk melepaskan lelah. Jam berdetak menunjukkan pukul 10.00. Kuputuskan untuk melaksanakan shalat dhuha. Aku melangkah dengan langkah gontai menuju tempat wudlu yang berada di sebelah kanan dapur.
Subhanallah. Air wudlu yang membasahi wajahku ini terasa sangat sejuk seperti mata air surga. Mampu membersihkan setiap noktah yang ada di wajahku, menerbangkan setiap penat yang kurasakan begitu berat di pundakku. Setiap tetesannya memberikan energi padaku untuk tetap tenang dan sabar dalam menjalani hidup ini. Maha besar Allah yang telah membuat air ini begitu suci.
“Assalaamu’alaykum warahmatullah.. Assalaamu’alaykum warahmatullah”.
Alhamdulillah aku mendapatkan ketentraman selepas menunaikan shalat dhuha ini. Semua masalah, pelik dan beban yang sempat menggelayuti pikiranku menjadi terasa ringan.
Ahad ini kurencanakan untuk pergi ke taman kota sekedar untuk mencari tempat bersantai. Kugembok gerbang rumahku, kutengok setiap sudut komplek. Ya, seperti biasa aku selalu disambut oleh ibu-ibu tukang gosip yang selalu meramaikan langkahku. Kucoba untuk tetap tenang setiap bertemu dengan mereka. Kubiarkan ocehannya berlalu pergi. Alhamdulillah, aku bisa mengendalikan emosiku sepanjang menyusuri komplek perumahan.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menjangkau taman yang kini menjadi tujuanku. Kini aku sedah berdiri pada sisi sebuah danau buatan yang begitu indah yang terletak di tengah taman. Setiap unsur keindahan muncul dan beriringan silih berganti di taman yang cukup ramai pada hari ahad ini. Rumput yang tertata rapi dengan bunga-bunga yang tumbuh hampir di setiap celah taman membuat taman ini semakin menakjubkan. Disini kuterbangkan kepenatanku bersama angin semilir yang selalu berhembus menyapaku. Kujatuhkan setiap gejolak yang ada dihatiku bersama dengan gugurnya daun-daun yang mulai rapuh diterpa angin. Angin itu tidak bersalah. Ia hanya melaksanakan titah Tuhan-Nya untuk beradu dengan setiap materi yang lemah dan siap diterbangkan olehnya kapan saja.
Aku duduk disebuah bangku panjang yang terletak di bawah pohon cemara yang cukup meneduhkan tubuhku. Sesekali tetesan embun yang masih bersisa jatuh ditelapak tanganku. Di tengah-tengah posisi santaiku, lagi-lagi ponselku bergetar. Pesan masuk dari orang misterius yang untuk kesekian kali mengganggu pikiranku.
“Kamu cantik sekali, Nis. Dibalut gamis abu-abu dan jilbabmu itu kamu tampak begitu anggun. Tempat ini cocok untukmu. Tersenyumlah jika di sini kamu telah menemukan duniamu”.
Aku merasa orang misterius itu benar-benar membuntutiku. Awalnya ingin kuabaikan pesan darinya, namun aku sangat penasaran padanya. Kutulis sebuah pertanyaan untuknya.
“Maaf, kamu siapa? Dimana? Kenapa kamu selalu mengetahui gerak-gerikku?”
“Aku di belakangmu”, sebuah balasan tak cukup lama kudapatkan. Aku menengok ke belakang. Sebuah area permainan anak-anak langsung menyapa pandanganku. Di keramaian anak-anak itu aku tidak bisa memastikan bahwa satu di antara orang-orang dewasa yang mendampingi anak-anak di sana adalah orang yang mengintaiku. “Ya Allah, siapa sebenarnya orang ini?”, tanyaku dalam hati. Aku merasa semakin tidak nyaman. Ku putuskan untuk pulang sesegera mungkin.
***
Hari ini aku bangun cukup pagi. Selepas shalat shubuh aku ingin melihat burung-burung terbang memulai aktifitasnya, daun-daun dan dahan-dahan yang masih basah karena embun semalam, tanah yang masih wangi khas dengan rumput-rumput yang juga masih dibasahi oleh embun, serta bunga-bunga yang bermekaran karena titah Tuhan-Nya. “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?”. Kalamullah itu seketika terlintas dibenakku melihat betapa nikmat Allah tidak dapat kuhitung saking banyaknya nikmat-nikmat itu.
“Alhamdulillah aku masih diberi-Nya kesempatan untuk memulai hari ini dengan ibadah”. Aku bersyukur atas segala yang telah Allah karuniakan untuk jiwa yang lemah ini. “Allah benar-benar menemaniku selamanya. Aku tidak sendiri”.
Puas memandangi alam dari balik jendela kamar, kubersiap untuk memulai aktifitasku. Kulangkahkan kakiku menuju kantor. Cukup keluar komplek perumahan lalu menyeberang jalan raya aku sudah sampai di sebuah kantor percetakan tempatku bekerja. Seperti biasa sudah ada Sofia yang tengah asik mengedit foto-foto pelanggan. Sementara itu di sampingnya ada seorang pria yang juga merupakan teman kerja kami, Alif. Di tangannya tampak pena yang ia main-mainkan dan matanya tengah menikmati pekerjaannya mendesain sebuah cover majalah. Kumemperhatikan mereka sambil tersenyum geli.
“Ciye.. ada yang lagi sumringah nih kayaknya”, Sofia meledekku dengan santainya.
“Ah, Alhamdulillah tadi ndak ada ibu-ibu yang mengejekku”, jawabku dengan tersenyum.
“Oh iya, maksudmu SMS misterius itu apaan sih, Nis?”, tanya Sofia lagi.
Aku menengok setiap sudut kantor yang ternyata hanya ada kami bertiga. “Aman untuk bercerita”, batinku.
“Sudah satu pekan aku di SMS sama orang misterius. Setiap hari dia membangunkanku, mengingatkanku shalat, dan memberikan kata-kata motivasi”, ceritaku pada Sofia.
“Lho, bukane malah bagus?”, jelas Sofia.
“Iya, sih. Aku juga berterima kasih karena sudah diingatkan untuk ibadah. Tapi, yang membuatku bingung itu dia selalu tahu apa yang aku kerjakan. Saat aku di taman dia tahu kalau aku di taman. Saat aku sedang bersedih ataupun bahagia, dia juga tahu. Trus masalahnya, siapa orang misterius itu, Sof?”, tanyaku penasaran.
Kulihat Sofia juga tampak kebingungan mendengarkan ceritaku. Kami berpikir cukup lama hingga akhirnya Alif berceletuk, “Sudah-sudah mikir terus nanti kurus lho, hehehehe. Mungkin penggemarmu, Nis. Ayo makan. Waktunya sarapan!”
Aku dan Sofia hendak mengikuti langkah Alif. Namun sepertinya ada sesuatu yang menghentikan langkahku. Ponsel Alif tertinggal di atas meja kerjanya. Awalnya aku tidak ingin mengambilnya dan memberikannya pada Alif. Tapi karena tiba-tiba ponsel itu bergetar, aku segera meraihnya. Tak sengaja kupencet tombol ‘oke’ pada tengah ponsel itu.
Astaghfirullah. Ponsel itu membuka setiap pertanyaan yang selama ini menggantung dalam fikiranku. Di menu ‘kotak kirim’ yang tidak sengaja kubuka itu tersimpan semua pesan-pesan yang sama persis dikirimkan oleh orang misterius yang menerorku. Aku dan Sofia bertanya-tanya dalam hati apa maksud dan tujuan Alif mengirim pesan-pesan itu padaku. Tanpa berpikir panjang kuputuskan untuk mencari keberadaan Alif.
“Taman”, ucapku spontan karena kutahu bahwa Alif suka menghabiskan waktu istirahatnya di taman kecil yang terletak di sudut kantor. Aku melewati setiap koridor kantor dengan langkah yang tergesa-gesa sementara Sofi mempercepat langkahnya mengikutiku.
Aku menemukannya. Alif benar berada di taman. Kuminta Sofi untuk menungguku di lobi kantor sementara aku akan meminta penjelasan dari Alif. Kulihat Alif tengah bersantai dengan segelas es segar yang berada di depannya sementara mata dan tangannya terlihat mencari-cari sesuatu. Kuhampiri ia dengan langkah yang kuperhalus.
“Kamu mencari benda ini?”, kusodorkan ponselnya. Kulihat ia gelagapan mengambil ponsel itu. “Maksudmu apa?”, tanyaku lagi padanya.
Alif mencoba menenangkan dirinya dengan duduk di bangku yang digunakannya untuk bersantai. Sedikit demi sedikit ia mulai menjelaskan semuanya, “Maafkan aku, Nis. Iya, kuakui bahwa akulah orang misterius yang kamu cari sepekan ini. akulah yang mengirimimu pesan-pesan itu. Sungguh aku tidak mempunyai niat buruk. Aku hanya ingin menemanimu meskipun dalam bentuk SMS-SMS yang tidak ada gunanya itu. Saat kamu ke taman, jujur aku memang mengikutimu. Maafkan aku, Nis. Sekali lagi maafkan aku”.
“Lalu apa maksudmu melakukan ini semua di belakangku?”, tanyaku.
“Aku.. Aku mencintaimu, Nis. Sejak kita bekerja di percetakan ini aku benar-benar mengenalmu. Kamu adalah wanita sholehah yang kucari selama ini. Aku sudah ingin mengungkapkan perasaanku cukup lama namun aku terlambat karena kamu telah dikhitbah oleh beberapa pria. Aku ingin menjadi seseorang yang berguna untukmu sehingga aku melakukan hal ini. Maaf jika aku membuatmu terkejut tapi inilah perasaanku”.
Aku hanya terdiam. Seperti ada sebuah pengakuan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Teman kerja yang selama ini tidak pernah kubayangkan mencintaiku mengungkapkan perasaannya. Sedangkan aku merasa tulang kakiku lemas. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Yang pasti, harusnya Alif sadar dengan peristiwa yang telah menimpaku selama ini.
“Kamu aneh, Lif! Kamu tahukan bahwa aku ini adalah seorang pembawa sial. Apa kamu tidak takut mencintai wanita pembawa sial seperti aku ini!?”, tanyaku dengan nada yang tegas dan cukup ketus.
“Tidak. Semua yang menimpamu bukan karena kesalahanmu tapi karena Allah sudah menakdirkan itu semua. Kita ini milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Bukankah itu kalam Allah? Kamu wanita yang paham benar tentang agama. Aku yakin kamu tahu itu. Jika harus meninggalpun aku siap. Namun itu semata-mata karena Allah yang telah berkehendak. Bukan karena kamu”.
Kata-kata dari Alif mendebarkan hatiku. Seorang teman yang selama ini tidak begitu kuperhatikan ternyata memiliki pribadi yang bijak dan bersahaja. Setiap kata yang keluar darinya membuat jantungku semakin berdegup kencang. Aku melihat keseriusan dari wajahnya yang teduh itu.
“Izinkan aku menikahimu”.
“Apa??! Kamu sadar ndak sih, Lif! Kalau kamu menikahiku, kamu akan mati! Kamu mau mati?”
“Astaghfirullah, Nis. Aku tidak pernah memikirkan itu. Yang kutahu aku ingin menikahimu. Izinkan aku menikahimu dan kita buktikan pada orang-orang bahwa kamu bukan pembawa sial. Aku yakin akan bahagia bersamamu”.
Gemuruh langit bersuara. Kami kaku di taman itu tanpa satu jawaban muncul dari lisanku. Gerimis membasahi tubuh kami. Hujan benar-benar semakin menguatkan berjuta rasa yang tidak jelas bentuknya di antara hati kami. Ada sebuah rasa yang disampaikan pria yang terduduk mematung di sampingku namun aku sendiri tidak dapat mengatakan apa yang kurasa. Kumencoba untuk tersadar. Kami telah terlalu lama menjadi korban kristal-kristal yang jatuh mulai deras. Kuputuskan untuk meninggalkan Alif yang masih terdiam di taman. Aku menuju lobi dan mengabaikan keberadaan Sofia yang sejak tadi mengamati kami. Aku berlalu pergi membiarkan setiap kebisuanku bergantung tanpa aral yang pasti.
***
“Nduk, ada nak Alif dan keluarganya di depan. Ingin bersilaturrahim dengan keluarga kita”, kata ibuku.
Semenjak kejadian lusa lalu aku putuskan untuk kembali pulang ke Salatiga. Di rumah ini aku bisa berkumpul dengan ayah, ibu, dan kedua adikku. Setidaknya cukup menenangkan hatiku yang semakin gundah. Tapi tak kusangka Alif ternyata mengetahui keberadaanku. Keseriusannya untuk menikahiku dibuktikannya.
Aku tidak bereaksi sekalipun ibu memintaku untuk keluar menemui Alif dan keluarganya. Aku tak tahu harus senang atau sedih. Senang karena ada pria yang dengan keikhlasannya mengkhitbahku. Sedih karena takut jika Alif akan mengalami hal yang sama dengan ketiga pria yang sebelumnya telah mengkhitbahku. Aku menangis dipelukan ibu. Aku tahu ibu adalah orang yang paling mengenalku. Ibu selalu tahu apa yang kurasakan.
“Nduk, lihatlah ketulusan nak Alif. Ia benar-benar serius untuk menikahimu”.
“Tapi, Bu. Ibu tahukan apa yang terjadi pada semua pria yang mengkhitbahku. Mereka semua meninggal. Aku tidak ingin hal serupa terjadi pada Alif”, aku mulai buka suara.
“Itu semua sudah menjadi takdir Allah. Belum tentu semua yang telah berlalu itu menjadi patokan dalam hidupmu. Hanya Allah yang tahu. Maut itu rahasia Allah”.
“Annisa masih belum bisa melupakan semuanya, Bu. Terutama mas Fahmi. Annisa masih menyayanginya sekalipun Allah telah memanggilnya”.
“Biarkan nak Fahmi tenang dalam surga Allah, Nduk. Itu pertanda bahwa kalian tidak berjodoh. Mungkin untuk mempertemukanmu dengan jodohmu Allah harus mengambilnya pergi. Nak Alif tidak jauh berbeda dengan Nak Fahmi. Dari cerita nak Sofia, Alif orang yang rajin ibadah dan sholeh. Cobalah buka hatimu. Perihal hidup dan mati, tawakkalkan pada Allah”.
Ibu semakin meyakinkan hatiku. Namun hati ini masih berselimut keraguan yang belum terjawab. Haruskah aku menerima pinangan dari Alif, pria yang diam-diam menaruh hatinya padaku padahal tidak pernah sedikitpun hatiku berlabuh pada hatinya?
“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. Kulihat mata ibu memandangku dengan teramat pasti dan menggantungkan harapan besar padaku.
“Baiklah. Doakan Annisa”. Bismillah. Kuputuskan untuk menerima pinangan Alif. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja termasuk Alif. Semua keluarga menerima keputusanku dengan bahagia. Sedikitpun tidak ada ketakutan dari wajah pria yang sebentar lagi akan menjadi imamku itu begitu juga dengan keluarganya. Mereka sangat menerima kehadiranku.
***
Kubuktikan bahwa Allah tidak pernah salah. Semua peristiwa yang lalu itu hanya takdir yang telah dituliskan Allah untuk pria-pria yang sempat mengkhitbahku. Hanya saja orang-orang di luar sana tidak sadar seberapa besar kuasa Allah atas segala sesuatu. Kubuktikan bahwa Alif memang jodohku yang oleh Allah harus kutemui dengan sejuta takdir yang sempat menyiutkan nyaliku.
Begitulah ketika Allah berkalam untuk hamba-Nya. Setelah pernikahan kami berlangsung, Allah masih mengizinkan kami untuk bersama. Tidak ada kematian dan istilah pembawa sial. Allah menetapkan aku menjadi bidadari Alif, seorang pria yang sebelumnya tidak pernah kusangka akan menjadi imamku. Pria yang begitu bersahaja dan sholeh, yang mengajariku untuk dekat dengan Allah. Pria yang senantiasa mendampingiku dalam suka maupun duka. Seorang imam yang mendidikku dengan cinta dan agama yang sempurna.

Kamis, 20 Maret 2014

PETUNJUK AL-QURAN DALAM MEMILIH PEMIMPIN

Kampanye dimana-dimana, para simpatisan dan caleg mengemukakan janji manisnya dihadapan banyak rakyat, apakah perlu dipercaya?

Pada zaman sekarang semakin ramai orang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau tidak pernah (meski sekali) menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.

Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai sebuah "aset", karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai kepada artis.

Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan (kepemimpinan) tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri. Karena menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.

Hakikat kepemimpinan
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H. R. Bukhari Muslim).

Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".

Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisaâ 4): 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).

Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Kriteria pemimpin

Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).

Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.

Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.

Memilih pemimpin

Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.

Ali Imran Ayat 28:
“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali*) dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”

*)Wali = Pemimpin

AL Maidah ayat 51:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cerminâ" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".

Sikap rakyat terhadap pemimpin

Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)".

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.

Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar.(*)

Kamis, 09 Januari 2014

Muhammad Saihul Basyir, Pemuda Penghafal Al Qur'an

“Pemuda Kece adalah seseorang yang berbakti kepada kedua orangtua dan agamanya” (Salah satu bunyi kicauan di akun Twitter milik Saihul Basyir)
Muhammad Saihul Basyir adalah sosok pemuda tampan yang periang, bersahabat, baik hati dan tidak sombong. Di samping itu Basyir (panggilan akrabnya) adalah salah satu penghafal Al-Qur’an yang masih muda karena telah mengkhatamkan hafalannya ketika berusia sebelas tahun. Banyak prestasi dan keistimewaan yang Allah berikan ketika Saihul Basyir memulai proses menghafal dan menamatkan hafalannya. Bagaimana kondisi keluarga Saihul Basyir dan fase demi fase yang telah dijalaninya? Berikut ini adalah sekilas dari cuplikan kisah perjalanan hidup beliau. Semoga banyak yang terinspirasi dan termotivasi melihat profil pemuda yang telah mengkhidmatkan diri kepada Al-Qur’an ini, dan semoga keistiqamahan selalu mengiringinya.

I. Keluarga Penghafal Al-Qur’an
Muhammad Saihul Basyir, lahir di Jakarta 10 Januari 1996. Sekarang ia –saat di wawancara- duduk di bangku kelas 3 SMA di Pesantren Terpadu Darul Quran Mulia, Bogor. Sekilas tentang keluarganya, ayahnya yang bernama Mutammimul Ula (57 tahun) adalah seorang yang berasal dari Solo tepatnya di kecamatan Sragen. Sang kakek mendidik ayahnya dengan didikan yang keras, karena dahulu kakek dari sang ayah adalah seorang yang aktif di partai Masyumi, sehingga apa yang telah diterapkan oleh kakek kepada ayahnya menurun kepada anak-anaknya juga, Pak Tamim (begitu beliau dipanggil) menamatkan SMA di sebuah sekolah Islam di Solo bernama SMA Al-Islam, kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Syariah Universitas Islam Sultan Agung Semarang pada tahun 1977, hingga akhirnya aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan juga sempat menjadi ketua umum Pengurus Besar PII tersebut selama satu periode (1983-1986). Beliau juga seorang Magister Ilmu Hukum di Universitas Indonesia tahun 2007 yang sebelumnya menyelesaikan Sarjana Hukum di Universitas Diponegoro tahun 1982. Dalam dunia politik, beliau tergabung dengan Partai Keadilan Sejahtera yang pernah membawanya menjadi anggota DPR-RI pada periode 1999-2004 dan terpilih kembali pada periode 2004-2009.
Sedangkan ibunya yang bernama Wirianingsing (51 tahun) adalah orang Jakarta, sama dengan ayahnya, sang ibu juga dibesarkan oleh kakek yang juga seorang veteran, kemudian menamatkan jenjang S1 di Universitas Padjajaran (Unpad) pada Fakultas Komunikasi, dan melanjutkan S2 di UI Salemba mengambil Psikologi. Ibu Wiwi (panggilan akrab kesehariannya) bukanlah orang yang tidak memiliki kesibukan, melainkan seorang wanita yang super sibuk. Sejak muda aktif di berbagai organisasi, pernah menjadi pengurus wilayah PII-Jawa Barat, Pengurus Besar PII, dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Universitas Islam Bandung (Unisba), Ketua Pengurus Pusat Salimah (sebuah organisasi muslimah yang tersebar di 30 provinsi) tahun 2005-2010, Ketua Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia, Presidium Badan Musyawarah Organisasi Wanita Islam (BMOWI) 2007-2012, dan Ketua Yayasan Citra Insani (2009 hingga kini). Ia juga pernah menjadi anggota delegasi RI dalam sidang United Nations Comission on the Status of Women (UNCSW) ke-51 di New York, Amerika Serikat. Kini, Ibu Wiwi menjadi anggota DPR-RI Komisi IX dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Awal mula pertemuan sang ayah dan sang ibu adalah ketika keduanya mengikuti seminar di Bandung, kebetulan ayahnya -yang aktif terlebih dahulu daripada ibunya di PII- menjadi pemateri di seminar tersebut. Pada akhirnya berkenalan dan mempunyai visi yang sama, yaitu menciptakan generasi yang shalih dan bermanfaat bagi umat. Cita-cita terbesar kedua orang tuanya adalah menciptakan generasi penghafal Al-Qur’an di masa yang akan datang, hingga akhirnya dikaruniai sebelas orang anak. Alhamdulillah enam orang dari sebelas orang anaknya sudah berhasil mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an. Berikut profil singkat kesebelas buah hati mereka:
1. Afzalurahman Assalam (27 tahun)
Hafal Al-Qur’an pada usia 13 tahun di sebuah pesantren di Bobos, Cirebon. Sarjana Teknik Geofisika ITB (Institut Teknologi Bandung). Juara I MTQ Putra Pelajar SMU se-Solo, Ketua Pembinaan Majelis Taklim Salman ITB dan terpilih sebagai peserta Pertamina Youth Programme 2007.
2. Faris Jihady Hanifa (26 tahun)
Hafal Al-Qur’an pada usia 9 tahun di Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, Jawa Tengah dengan predikat Mumtaz. Mengambil S1 Fakultas Syariah di LIPIA Jakarta. Sekarang sedang menyelesaikan studi masternya di King Saud University, Riyadh Arab Saudi. Peraih juara I lomba tahfizh Al-Qur’an yang diselenggarakan oleh kerajaan Arab Saudi di Jakarta tahun 2003, juara olimpiade IPS tingkat SMA yang diselenggarakan UNJ tahun 2004, Sekretaris Umum KAMMI Jakarta.
3. Maryam Qonitat (25 tahun)
Hafal Al-Qur’an sejak usia 16 tahun di Pesantren Husnul Khatimah, Kuningan Jawa Barat. Kemudian melanjutkan studi S1 di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo. Sekarang sedang melanjutkan S2 di International Islamic University Malaysia. Pelajar teladan dan lulusan terbaik Pesantren Husnul Khatimah 2006. Menghafal hadits dan mendapatkan sanad Rasulullah dari Syekh Al-Azhar.
4. Scientia Afifah Taibah (23 tahun)
Hafal Al-Qur’an 30 juz sejak usia 19 tahun. Seorang sarjana hukum di Universitas Indonesia (UI). Faktanya, ketika selesai SMA tidak langsung melanjutkan kuliah akan tetapi dia membuat program menghafal Al-Qur’an terlebih dahulu di Al-Hikmah Jakarta sampai selesai.  Saat SMP menjadi pelajar teladan dan saat SMA memperoleh juara III lomba Murattal Al-Qur’an tingkat SMA se-Jakarta Selatan.
5. Ahmad Rasikh ‘Ilmi (22 tahun)
Hafal 15 juz Al-Qur’an sejak duduk di MA Husnul Khatimah, Kuningan. Kini sedang menyelesaikan studi S1 di Universitas Islam Internasional Malaysia pada jurusan Ushul Fiqh. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara I Kompetisi English Club Al-Kahfi dan menjadi musyrif bahasa Arab MA Husnul Khatimah.
6. Ismail Ghulam Halim (20 tahun)
Hafal 13 juz Al-Qur’an sejak duduk di SMAIT Al-Kahfi Bogor. Mahasiswa Teknik Universitas Indonesia. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara lomba pidato bahasa Arab SMP se-Jawa Barat, serta santri teladan, santri favorit, juara umum dan tahfizh terbaik tiga tahun berturut-turut di SMPIT Al-Kahfi.
7. Yusuf Zaim Hakim (19 tahun)
Hafal Al-Qur’an 30 juz sejak usia 17 tahun di Pesantren Darul Qur’an Yusuf Mansur, Bandung. Mahasiswa di Universitas Indonesia. Prestasinya antara lain: peringkat I di SDIT, peringkat I SMP, juara harapan I Olimpiade Fisika tingkat Kabupaten Bogor, dan finalis Kompetisi tingkat Kabupaten Bogor.
8. Muhammad Syaihul Basyir (17 tahun)
Hafal Al-Qur’an 30 juz pada saat kelas 6 SD.
9. Hadi Sabila Rosyad (16 tahun)
Hafal 18 juz Al-Qur’an. Santri kelas 2 SMA di Pesantren Terpadu Darul Qur’an Mulia Bogor. Di antara prestasinya adalah juara I lomba membaca puisi.
10. Himmaty Muyassarah (14 tahun)
Hafal 13 juz Al-Qur’an. Kelas 3 SMP Darul Qur’an Mulia Bogor.
11.Hasna Khairunnisa, wafat usia 3 tahun, akibat tumor otak pada bulan Juli 2OO6.
Tentu saja ini adalah karunia Allah dan prestasi yang luar biasa, salah satu contoh keluarga muslim Indonesia yang perlu dijadikan contoh dan teladan. Dengan berbagai macam kesibukan baik sebagai seorang pendakwah dan wakil rakyat, kedua orang tuanya mampu membagi waktunya dengan baik untuk mendampingi perkembangan anak-anaknya, apalagi mereka berdua melakukan semuanya sendiri, tanpa pembantu rumah tangga.

II. Awal Menghafal Sampai Tamat
Banyak yang memicu semangat Saihul Basyir untuk menghafal Al-Qur’an, salah satunya  terinspirasi dan termotivasi karena  melihat kakak keduanya, Faris Jihadi Hanifa, yang telah mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an di usia yang masih sangat muda yaitu sembilan tahun.
Ibu beliau yang memang menginginkan Basyir kecil meniru persis seperti kakak keduanya tersebut, akhirnya sejak kelas 1 SD beliau dimasukkan ke pesantren tahfizh untuk anak-anak yang sama di Pon-Pes Yanbu’ul Qur’an Kudus, yang dirintis oleh KH. Arwani, di sanalah proses menghafal Al-Qur’an Basyir dimulai, beliau benar-benar tidak memahami makna hakiki menghafal Al-Qur’an karena masih polos, yang ada di dalam benak pikirannya saat itu adalah mengkhatamkan Al-Qur’an di kelas 3 SD lalu melancarkannya di kelas 4 dan 5 SD, sehingga di kelas 6 SD sudah fokus ke ujian, namun apa yang dicita-citakan belum tercapai karena terbentur memiliki pribadi yang tidak mudah beradaptasi, mudah kangen dengan orangtua, hingga akhirnya Basyir keluar dari sana pada usia sembilan tahun tepatnya kelas 4 SD, pada saat itu Basyir baru berhasil menghafal Al-Qur’an sebanyak 21 juz.
Sebenarnya ibunya tidak menyetujui Basyir keluar dari pesantren, tapi Basyir meyakinkan ibunya dengan jawaban polos anak kecil bahwa ia mampu dan bisa menyelesaikan hafalan Al-Qur’an secara sempurna di rumah. Akhirnya pilihan studinya jatuh ke SDIT Al-Hikmah yang berlokasi di Mampang-Jakarta Selatan, ternyata kenyataannya tak semudah apa yang dibayangkan, karena padatnya jadwal kegiatan sekolah, di samping posisinya yang pulang-pergi tidak menetap seperti di pesantrennya dulu. Akhirnya jadwal dibuat oleh orang tua Basyir sedemikian rupa sehingga terbentuklah program mengaji dua waktu , waktu pertama setelah subuh, beliau diwajibkan menyetor satu halaman kepada ibunya, kemudian ketika Maghrib tiba, memuraja’ah [mengulang-ulang] hafalan yang dimiliki sebanyak lima halaman saja. Adapun program dari ayahnya yaitu tilawah Al-Qur’an paling minimal sebulan sekali harus berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali putaran, ketika berhasil mencapai target apa yang ayah dan ibunya minta, beliau tak menyadari hal tersebut hingga akhirnya sadar ketika dewasa, ketika itu ayah dan ibunya selalu memberikan reward atau hadiah karena target telah berhasil dicapai Basyir, mereka membelikan apa yang dia mau, namun orientasinya tetap tertuju pada bagaimana bisa menyelesaikan hafalan Al-Qur’an sebelum naik ke jenjang SMP.
Alhamdulillah berkat karunia Allah dan nikmat-Nya, beliau dimudahkan dalam menyelesaikan hafalan Al-Qur’an di umur 11 tahun ketika duduk di kelas 6 SD, beliau tidak mengkhatamkan Al-Qur’an tidak secara sempurna, tidak sampai juz 30. Karena pada waktu beliau menyetorkan hafalan kepada ustadz -yang ada di sekolah- pada surat At-Tahrim akhir juz 28, ketika sudah selesai setoran surat At-Tahrim ustadznya mengatakan dan memerintahkan kepadanya untuk berhenti, “cukup ya Basyir kamu sudah selesai menghafal Al-Qur’an”, kata beliau meniru perkataan ustadznya, beliau pun terheran, “kenapa ustadz Ana belum selesai menyetor juz 29 dan 30”, ustadznya pun balik menjawab, “tak apa, kamu sudah menghafal Al-Qur’an, kamu sudah berhasil menghafal juz 29 dan 30 secara mendengar”, memang kenyataannya seperti itu beliau menghafalkan juz 29 dan 30 tanpa menghafal secara lisan atau secara disetorkan, melainkan hanya mendengar bacaan Al-Qur’an juz 29 dan 30 dari orangtua, saudara-saudarinya yang telah terekam secara otomatis dalam ingatannya.
Lepas dari bangku SD, beliau merasa sedikit bangga, namun ketika teman-teman dan sanak saudara Basyir bertanya kepada ayah ataupun ibunya, “apakah Basyir sudah berhasil menghafalkan Al-Qur’an”, “ya sudah berhasil menghafalkan Al-Qur’an secara hifdz [menghafal]”, akan tetapi ketika Basyir dites dan ditanya suratnya tidak bisa, karena ketika SD itu orientasinya hanya tertuju kepada berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an saja, tidak ada pikiran untuk melancarkan dan mengitqankan dan seterusnya, hingga akhirnya ayah Basyir mempunyai pikiran yang sama dengannya yaitu masuk ke pesantren Al-Qur’an kembali, dan akhirnya masuklah Basyir  ke sebuah pesantren yang bernama Pesantren Terpadu Darul Quran Mulia di Bogor, karena merasa terpanggil dan tuntutan alami, untuk apa beliau menghafalkan Al-Qur’an secara sempurna akan tetapi ketika disuruh membaca secara acak tidak bisa, ayahnya pun pernah berucap, “Basyir, kamu tidak bisa mengamalkan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an kalau kamu tidak bisa menghafal ayat-ayatnya secara sempurna”, melalui perintah ayahnya tersebut Basyir termotivasi menghafalnya secara ulang, beliau pun mengakui awalnya agak berat ketika menghafalkan Al-Qur’an secara ulang di pesantren Darul Quran Mulia itu, berkat dukungan dan doa dari orangtua dan sanak saudara dan tentunya dari dirinya sendiri akhirnya Basyir pun berhasil mengkhatamkan kembali hafalan Al-Qur’an di usianya yang ketiga belas tahun, dan rajin memuraja’ah secara terus menerus sampai sempurna karena ia sadar hafalannya belum lancar, padahal orang lain telah menilai hafalannya sudah bagus dan lancar.

III. Suasana Keluarga dan Lingkungan
Kedua orang tuanya telah berusaha menciptakan sebuah lingkungan yang paling kondusif di rumah, hanya menyalahkan televisi dua jam saja dan lebih dari dua jam ketika hari libur atau hari Ahad. Kemudian ibunya mewajibkan Basyir muraja’ah dan tilawah setelah Maghrib serta menyetorkan hafalan baru setelah Subuh sebelum masuk sekolah. Ayahnya secara naluri dan alami sering menyetel radio atau kaset murattal Al-Qur’an imam Masjidil Haram, setiap saat Al-Qur’an terdengar di telinganya ketika berada di rumah, sehingga sehari-harinya tercipta suasana lingkungan qur’ani.
Program tersebut mempunyai kelebihan tersendiri, ketika orangtua tidak bisa mengontrol kegiatan anak-anak di rumah, seorang ayah sudah tahu apa yang dilihat dan didengarkan, tentu yang didengarkan ketika ayahnya tidak ada adalah murattal, dan apa yang dilihat adalah buku bacaan, karena salah satu bentuk yang ayah Basyir ciptakan adalah membuat perpustakaan pribadi yang berisikan koleksi buku hingga empat sampai lima ribu buku, sehingga ketika televisi tidak dinyalakan maka Basyir lari ke perpustakaan, membaca bacaan anak-anak yang islami.
Dalam perpustakaan pribadi tersebut, buku koleksinya mencakup semua hal, baik tentang politik dan hukum sebuah kegiatan yang digeluti ayah Basyir, maupun yang ibunya tekuni tentang kewanitaan dan psikologi anak, kemudian yang saudara-saudarinya dalami tentang ilmu-ilmu syariah, kitab-kitab fiqih dan tafsir, buku-buku ilmiah, sains dan eksakta, hingga apa yang adiknya senangi ketika itu yaitu novel-novel remaja dan motivasi, jadi pemandangan yang tak aneh ketika televisi dimatikan mereka bisa betah berjam-jam di dalam perpustakaan, menggeluti bacaan yang mereka suka dan senangi, hal tersebutlah yang telah berhasil membentuk pribadi keluarganya menjadi pribadi yang positif, suka membaca, gemar menelaah ilmu-ilmu, gemar berdiskusi. Intinya kedua orangtua Basyir tidak hanya ingin Al-Qur’an cukup dihafal saja namun harus diamalkan dan dipraktekkan pada kehidupan nyata dengan hati yang bersih.
Al-Qur’an dijadikan sebagai dasar pijakan utama masing-masing anak agar hobi dan kelebihan mereka yang berbeda satu sama lain bisa lebih terarah, dan itu pun juga harus dimulai dengan kecintaan terhadap buku-buku ilmiah dan buku-buku yang bermanfaat lainnya. Uniknya, ketika beliau masih kecil ibunya sering membawakan dongeng sebelum tidur, setiap malam diceritakan kepadanya tentang sirah sahabat, khulafaur rasyidin, dan yang lebih utama adalah sirah nabawi.
Hiburan lain yang ibunya izinkan adalah mendengarkan lantunan nasyid dan musik islami yang mengandung ajaran Islam, Rasulullah maupun sahabat. Sehingga kadang kala apa yang mereka ketahui dan apa yang ada di kepala mereka tidak sama dengan apa yang digeluti dan apa yang disenangi oleh anak-anak yang seusia mereka, contohnya ketika SD teman-temannya mungkin suka dengan yang namanya game online, namun secara pribadi Basyir tidak menyukai hal tersebut, lebih menyenangi hal-hal yang berbau kegiatan positif, itu dampak positif dari didikan orang tuanya yang telah membentuk anak-anaknya memiliki karakter yang baik, kuat dan qur’ani. Semoga selalu istiqamah.

IV. Hikmah Mengikuti Perlombaan Menghafal Al-Qur’an
Sang Jawara Nasional MHQ 30 juz ini menjadikan perlombaan menghafal Al-Qur’an dan sejenisnya sebagai batu loncatan untuk maju ke depan, karena sebelum mengikuti perlombaan Basyir belum mengetahui di mana kadar kekuatan hafalan yang dimiliki, perlombaan tersebut pun dijadikannya sebagai sarana bukan tujuan, karena setelah mengikuti perlombaan itu ia sadar masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi hafalan maupun tajwidnya, pada akhirnya ia pun termotivasi untuk selalu mengulang-ulang hafalan yang ada agar selalu melekat dalam dirinya.
Dalam musabaqah [kompetisi sehat] itupun Basyir dipertemukan dengan para pecinta dan penghafal Al-Qur’an dari seluruh Indonesia maupun luar negeri, bisa mengenal lebih dalam dan bisa berinteraksi secara langsung, berbagi pengalaman dan diskusi-diskusi yang masih berkaitan dengan kesucian Al-Qur’an dan masalah kehidupan yang lainnya, itulah salah satu kelebihan yang bisa didapatkan Basyir setelah mengikuti perlombaan MTQ dan sejenisnya. Jadi bukan hanya kemenangan yang dicari, karena menang-kalah adalah hal biasa dalam kehidupan, yang luar biasa adalah persahabatan sesama pecinta Al-Qur’an yang harus dijunjung tinggi.

V. Harapan dan Target
Pemuda yang dianugerahi Allah banyak nikmat ini berkeinginan memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an sampai jenjang tertinggi di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. Tujuannya ingin mengabdikan diri untuk umat dan memperbaiki moral bangsa, moral pemuda yang mulai merosot, ia yakin bisa merubah hal tersebut melalui prinsipnya dengan Al-Qur’an, “Allah akan membantu orang-orang yang membantu agama-Nya”.
Beliau pun ingin bertemu dengan orang-orang hebat dan sukses, masyaikh, para imam besar dan tokoh qari lebih banyak lagi, karena sebelumnya beliau pernah bertemu dengan Syekh Abdullah bin Ali Bashfar salah seorang imam besar di Jeddah, Arab Saudi, Syekh Aiman Rusyd al-Suwaidi seorang pakar qiraah yang berasal dari Syria, Syekh Anas Ahmad Karzoun, dan masih banyak lagi yang lainnya sewaktu mengikuti pertemuan dengan para penghafal Al-Qur’an anak-anak se-dunia di Jeddah, Arab Saudi. Ini adalah salah satu bukti kemudahan yang Allah berikan kepadanya karena selalu berusaha untuk berkomitmen dengan Al-Qur’an. Basyir pun tetap yakin akan bertemu dengan orang-orang yang lebih hebat lainnya jika ia berkomitmen untuk terus mengabdikan diri kepada Al-Qur’an. Karena harapan dan mimpi beliau lainnya adalah ingin menjadi Imam Besar di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, semoga Allah mengabulkan doanya tersebut. Aamiin.
Target Basyir selanjutnya adalah ingin membangun pesantren Al-Qur’an yang mempelajari ilmu-ilmu sains dan eksakta, agar bisa mendidik dan mengajarkan pemuda-pemudi bangsa Indonesia menjadi generasi qur’ani. Karena cita-cita terbesar Basyir sewaktu kecil adalah ketika sudah besar nanti ingin menjadi Presiden Republik Indonesia. Cita-cita anak yang sungguh luar biasa. Semoga banyak yang mengaminkan.

VI. Tips dan Trik Menghafal Al-Qur’an
Hal yang paling utama adalah pasang niat semua karena Allah, harus memiliki tekad dan azam yang kuat untuk berjihad di jalan-Nya serta mengorientasikan semua tujuan kepada ridha dan surga-Nya.
Sebelum masuk program menghafal diharuskan untuk mengikuti program tahsin, tujuannya untuk memperbaiki pelafalan bacaan Al-Qur’an dan menguasai tajwid. Setelah itu boleh mengikuti program tahfizh dengan mengikuti tips berikut:
1. Membagi waktu menjadi dua kali dalam sehari, waktu Subuh untuk menghafal dan waktu Maghrib digunakan untuk mengulang hafalan.
2. Harus memiliki musyrif, guru ngaji untuk menyetor dan membenarkan hafalan, musyrifnya pun harus hafal Al-Qur’an dengan baik.
3. Memakai satu mushaf tetap hingga selesai, mushaf dengan rasm utsmani.
4. Evaluasi hafalan secara berkala, setiap juz yang sudah selesai dihafal harus dites sampai mengetahui dan memperbaiki tingkat kesalahan sekecil mungkin. Begitu juga per-5 juz, per-10 juz, dan seterusnya sesuai kelipatan hingga 30 juz.
6. Tingkatkan amalan shalih.
7. Jadikan shalat-shalat sunnah rawatib sebagai waktu untuk mengulang walaupun hanya beberapa ayat, lebih afdhal lagi melakukan muraja’ah satu sampai dua juz pada waktu shalat malam atau tahajud, lebih banyak jumlah juz yang diulang akan lebih bagus lagi, karena sepertiga malam adalah sebaik-baik waktu agar hafalan yang ada tetap melekat kuat.
8. Cari lingkungan terbaik untuk menghafal, berkumpul bersama orang shalih dan para penghafal Al-Qur’an.
9. Doa tanpa henti kepada Allah, meminta keistiqamahan dan kelancaran, karena Al-Qur’an diturunkan dari Allah.
10. Tambahan, untuk mempercepat dan mempermudah dalam menghafal dianjurkan memakai mushaf rasm utsmani yang ada terjemahannya, agar apa yang dihafal lebih meresap di hati.
Demikian tips dan trik menghafal Al-Qur’an dari Muhammad Saihul Basyir, seorang pemuda kece –pemuda yang taat kepada kedua orangtua dan agama- lagi sangat bersahabat ini. Semoga kebaikan ini menjadi ladang amal untuk beliau karena mau berbagi pengalaman untuk kita semua, tentunya hal ini harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Semoga kita dan anak keturunan semua menjadi ahlul quran, berpegang teguh kepada ajaran agama, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Aamiin.

VII. Tes Hafalan
Selain memiliki wajah yang sejuk dipandang dan memiliki prinsip “Forever single until the time”, suara alunan murattalnya pun tak kalah indah, tak aneh jika banyak prestasi yang diraihnya karena keistimewaan hafalannya yang luar biasa.
Berikut contoh tes hafalan Al-Qur’an yang dijawabnya dengan tenang dan lancar, tak aneh bila nilai Mumtaz disandangnya:
- Juz 5, Surah An-Nisaa ayat: 115-125
- Juz 25, Surah As-Syuuraa ayat: 47-Selesai disambung awal Surah Az-Zukhruuf sampai ayat 8.
Bahkan Syekh Muhammad Jibril, salah seorang Imam dan Syekh Murattal Al-Qur’an di Mesir memberikan penilaian baik terhadap hafalan dan tilawah Saihul Basyir melalui salah satu video Saihul Basyir sewaktu mengikuti perlombaan menghafal Al-Qur’an -yang penulis kirim khusus ke Syekh Jibril-. Beliau menilai bacaan dan hafalan Saihul Basyir sudah bagus, beliau hanya menyarankan agar Saihul Basyir meningkatkan dan belajar kembali aneka ragam nagham membaca Al-Qur’an agar bisa menguasai semua nada murattal, tidak hanya satu nada bacaan saja. Semoga dengan mendapatkan doa khusus dan suntikan pujian serta kritikan –nasihat- yang membangun dari Syekh Muhammad Jibril dapat diterapkan langsung oleh Saihul Basyir, dan ia pun semakin semangat untuk mempelajarinya.
Harapan ke depan, semoga Saihul Basyir bisa memperdalam dan menguasai tafsir Al-Qur’an dengan tiga bahasa; Arab-Inggris-Indonesia. Karena poin hafalan Al-Qur’annya sudah didapat. Semoga Allah selalu memberikan hidayah kepada beliau –tentu kepada kita semua juga- agar istiqamah di jalan-Nya, dan semoga Allah memperbanyak “Muhammad Saihul Basyir” lainnya yang selalu berkomitmen untuk menjaga ayat-ayat-Nya. Aamiin. []


 Saihul Basyir bersama junud (pasukan) Daarul Qur'an


Muhammad Saihul Basyir bersama kedua orang tua dan sebagian anggota sanak saudaranya di ruang perpustakaan pribadi