Rabu, 21 Mei 2014

Kusaksikan Allah Berkalam



Aku menyusuri sepanjang jalan yang ada di komplek perumahan menuju kantor tempatku bekerja. Kubangan dan jalan yang masih basah membuatku menjaga langkah. Di hari yang masih agak mendung itu tampak beberapa pasang mata yang memandangku cukup sengit. Ada riuh yang kurasakan.
“Eh- Eh, Bu. Hati-hati! Jangan dekat-dekat sama perempuan itu. Nanti ketularan sial lho. Nanti mati lho! Hihihihi”.
Astaghfirullah. Hati ini terasa sakit sekali. Kutengok mereka sesekali. Wajahnya seperti seekor singa yang siap menerkamku dengan garang. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak melihatku yang tidak berdaya membalas kicauan mereka. Aku mulai tidak tahan sehingga kupercepat langkahku.
Akhirnya aku sampai di ruangan kerja yang sudah mulai penuh dengan aktifitas. Sementara itu teman-teman heran melihatku yang berangkat ke kantor dengan bentuk yang tidak karuan dengan mata yang mulai sembab.
“Assalaamu’alaykum, ukhti sholihah”, sapa teman kerjaku yang juga sahabatku, Sofia.
“Wa’alaykumussalam”, kujawab salamnya dengan ketus.
Kusungkurkan kepalaku di atas meja kerjaku. Kuambil tisu untuk menghapus airmata yang sudah tak bisa kubendung. Aku menangis berteman hujan yang mulai turun perlahan.
“Nis, ada apa? Kenapa kamu menangis?”
Aku tak menjawab pertanyaan dari Sofia. Aku hanya menggeleng dan masih mengusap tetesan-tetesan air yang jatuh ke pipiku.
“Ada masalah?”, Sofia bertanya lagi. Aku bangkit dari posisiku lalu memeluknya. Ia menyambut pelukanku lalu menatap mataku.
Sofia mengulangi pertanyaannya, “Ada masalah?” kali ini aku mengangguk.
“Sof, apa aku pembawa sial?”, tanyaku padanya.
Sofia terlihat terkejut dengan pertanyaan yang kulontarkan. Ia mengernyitkan dahinya dan jawaban dari pertanyaanku juga belum tampak di wajahnya yang teduh, sangat keibuan. Aku mengenal Sofia sejak aku menjadi karyawan baru di sebuah kantor percetakan yang sekarang menjadi ladang kami mencari rizki. Wajahnya yang tirus cocok untuk semua jenis jilbab. Itu membuatnya selalu tampak cantik. Matanya yang kecil dihiasi kaca mata yang membuatnya tampak semakin manis dan menunjukkan kedewasaannya.
Aku kembali duduk di tempat kerjaku. Dengan tisu yang masih kugenggam dan wajah yang lumayan belepotan, kumulai bercerita pada Sofia.
“Tadi waktu aku berangkat ke kantor, ibu-ibu di komplek perumahan memandangiku dengan sinis. Kata mereka, aku pembawa sial. Aku bikin orang mati. Buktinya semua laki-laki yang mengkhitbahku meninggal dunia. Ini semua memang salahku. Aku memang pembawa sial”.
Sofia yang sedari tadi serius menyimak ceritaku mengembangkan senyumnya kemudian berkata, “Nis, semua itu takdir dari Allah. Sudah dituliskan oleh-Nya di Lauhul Mahfudz. Bukankan setiap jiwa akan merasakan mati?”
Aku mengangguk. Sofia melanjutkan perkataannya sambil mendekapku, “Hanya saja kita tidak pernah tahu kapan dan seperti apa kita meninggal. Sudah menjadi takdir Allah bahwa semua calon suamimu meninggal setelah mereka mengkhitbahmu. Itu bukan karena kamu yang membunuh mereka atau membuat sial. Tapi, memang sudah jalannya dari Allah. Mereka hanya menyangkut-pautkan saja. Kamu yang sabar ya. Memintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, karena sesungguhnya Allah beserta dengan orang-orang yang sabar”.
Alhamdulillah hatiku cukup tenang. Namun tak bisa kupungkiri bahwa diri ini merasa bersalah. Bagaimana tidak? Aku sudah pernah dikhitbah oleh tiga orang pria yang dikenalkan oleh keluargaku dan mereka semua meninggal setelah hubungan kami sudah berjalan. Pria yang pertama dan kedua meninggal karena kecelakaan. Sedangkan pria ketiga, Faris Fahmi, seorang ikhwan yang juga merupakan seorang motivator muda meninggal karena sakit pada satu pekan sebelum pernikahan kami berlangsung. Padahal pada pria ini kulabuhkan hatiku. Ia seorang yang baik, santun, dan sholeh. Namun memang hanya Allah yang berhak menguasai hati ini. Allah belum mengizinkan hati ini termiliki oleh siapapun.
Karena peristiwa itu orang-orang menjulukiku sebagai perempuan pembawa sial. Dari peristiwa itu pula belum ada pria yang bersedia menjadikanku sebagai istrinya. Aku sadar mungkin memang aku bersalah dalam hal ini. Salah besar.
***
Malam ini setelah kutunaikan shalat maghrib, kurebahkan tubuhku di atas kasur kesayanganku. Aku sendiri di kontrakkan kecil ini. Jauh dari keluarga karena mengadu nasib di Jogjakarta. Tampak dari jendela mega-mega jingga yang mulai mengantarkan burung-burung kembali ke peraduannya. Langit terlihat begitu cerah. Sama sekali tidak menampakkan raut kesedihan dan kekecewaan atas hari ini yang cukup menjemukanku. Perlahan mata ini mulai terpejam. Namun ponselku bergetar sehingga cukup membuat mataku kembali terjaga.
Ddddrrrrrrtttt...... ddddrrrrrrttttt.......
“Dari nomor yang tidak kukenal”, gumamku dalam hati. Aku tak membuka pesan masuk itu. Berkali-kali ponselku bergetar dan masih dari nomor yang sama. Aku mulai jengkel hingga akhirnya kuputuskan untuk membukanya.
“Wajahmu tidak pantas jika berteman dengan kesedihan. Bidadari surga, tersenyumlah meskipun sekeras apapun luka itu”.
Aku mengernyitkan dahiku membaca pesan singkat itu. Sama sekali aku tidak faham dengan apa yang disampaikan sang pengirim pesan.
“Maaf, ini dengan siapa ya?”
Sudah tiga puluh menit aku menunggu balasan dari nomor itu namun tidak ada balasan. Hingga tiga puluh menit selanjutnya kuyakin pesanku dibalas.
“Saya, hanya seorang yang tidak tahu diri, yang sudah sejak lama mengagumimu”
Aku merasa semakin kacau. “Hmmm, mungkin hanya dari orang iseng”, batinku. Kulupakan pesan masuk dari orang misterius itu. Kuputuskan untuk beristirahat dan melupakan semua kejadian yang terjadi hari ini.
***
Ahad yang kunanti-nanti. Seperti biasa kurapikan rumah kontrakkanku yang telah disambut oleh cahaya mentari yang berkilau masuk melalui celah-celah lubang kamarku. Kutata setiap pola yang ada di rumah mungil ini. Kusapu setiap ruang dan pojok hingga bersih dan rapi. Langkah dan pandanganku terhenti saat melihat sebuah foto yang berhiaskan figura cantik disetiap tepinya. Di foto yang tidak begitu besar itu ada potret ayah, ibu, kedua adikku dan pria yang pernah berjanji untuk menjemputku menjadi bidadarinya, Fahmi. Kumenghela nafas cukup panjang. Kupandangi setiap gambar yang terpotret dalam bingkai foto itu. “Ya Allah, lindungi orangtuaku, kedua adikku dan mas Fahmi. Beri ia tempat terindah di surga-Mu. Aamiin”.
Beres. Semua sudah tampak cantik. Aku merebahkan tubuhku di sofa yang berada di ruang tengah sekedar untuk melepaskan lelah. Jam berdetak menunjukkan pukul 10.00. Kuputuskan untuk melaksanakan shalat dhuha. Aku melangkah dengan langkah gontai menuju tempat wudlu yang berada di sebelah kanan dapur.
Subhanallah. Air wudlu yang membasahi wajahku ini terasa sangat sejuk seperti mata air surga. Mampu membersihkan setiap noktah yang ada di wajahku, menerbangkan setiap penat yang kurasakan begitu berat di pundakku. Setiap tetesannya memberikan energi padaku untuk tetap tenang dan sabar dalam menjalani hidup ini. Maha besar Allah yang telah membuat air ini begitu suci.
“Assalaamu’alaykum warahmatullah.. Assalaamu’alaykum warahmatullah”.
Alhamdulillah aku mendapatkan ketentraman selepas menunaikan shalat dhuha ini. Semua masalah, pelik dan beban yang sempat menggelayuti pikiranku menjadi terasa ringan.
Ahad ini kurencanakan untuk pergi ke taman kota sekedar untuk mencari tempat bersantai. Kugembok gerbang rumahku, kutengok setiap sudut komplek. Ya, seperti biasa aku selalu disambut oleh ibu-ibu tukang gosip yang selalu meramaikan langkahku. Kucoba untuk tetap tenang setiap bertemu dengan mereka. Kubiarkan ocehannya berlalu pergi. Alhamdulillah, aku bisa mengendalikan emosiku sepanjang menyusuri komplek perumahan.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menjangkau taman yang kini menjadi tujuanku. Kini aku sedah berdiri pada sisi sebuah danau buatan yang begitu indah yang terletak di tengah taman. Setiap unsur keindahan muncul dan beriringan silih berganti di taman yang cukup ramai pada hari ahad ini. Rumput yang tertata rapi dengan bunga-bunga yang tumbuh hampir di setiap celah taman membuat taman ini semakin menakjubkan. Disini kuterbangkan kepenatanku bersama angin semilir yang selalu berhembus menyapaku. Kujatuhkan setiap gejolak yang ada dihatiku bersama dengan gugurnya daun-daun yang mulai rapuh diterpa angin. Angin itu tidak bersalah. Ia hanya melaksanakan titah Tuhan-Nya untuk beradu dengan setiap materi yang lemah dan siap diterbangkan olehnya kapan saja.
Aku duduk disebuah bangku panjang yang terletak di bawah pohon cemara yang cukup meneduhkan tubuhku. Sesekali tetesan embun yang masih bersisa jatuh ditelapak tanganku. Di tengah-tengah posisi santaiku, lagi-lagi ponselku bergetar. Pesan masuk dari orang misterius yang untuk kesekian kali mengganggu pikiranku.
“Kamu cantik sekali, Nis. Dibalut gamis abu-abu dan jilbabmu itu kamu tampak begitu anggun. Tempat ini cocok untukmu. Tersenyumlah jika di sini kamu telah menemukan duniamu”.
Aku merasa orang misterius itu benar-benar membuntutiku. Awalnya ingin kuabaikan pesan darinya, namun aku sangat penasaran padanya. Kutulis sebuah pertanyaan untuknya.
“Maaf, kamu siapa? Dimana? Kenapa kamu selalu mengetahui gerak-gerikku?”
“Aku di belakangmu”, sebuah balasan tak cukup lama kudapatkan. Aku menengok ke belakang. Sebuah area permainan anak-anak langsung menyapa pandanganku. Di keramaian anak-anak itu aku tidak bisa memastikan bahwa satu di antara orang-orang dewasa yang mendampingi anak-anak di sana adalah orang yang mengintaiku. “Ya Allah, siapa sebenarnya orang ini?”, tanyaku dalam hati. Aku merasa semakin tidak nyaman. Ku putuskan untuk pulang sesegera mungkin.
***
Hari ini aku bangun cukup pagi. Selepas shalat shubuh aku ingin melihat burung-burung terbang memulai aktifitasnya, daun-daun dan dahan-dahan yang masih basah karena embun semalam, tanah yang masih wangi khas dengan rumput-rumput yang juga masih dibasahi oleh embun, serta bunga-bunga yang bermekaran karena titah Tuhan-Nya. “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?”. Kalamullah itu seketika terlintas dibenakku melihat betapa nikmat Allah tidak dapat kuhitung saking banyaknya nikmat-nikmat itu.
“Alhamdulillah aku masih diberi-Nya kesempatan untuk memulai hari ini dengan ibadah”. Aku bersyukur atas segala yang telah Allah karuniakan untuk jiwa yang lemah ini. “Allah benar-benar menemaniku selamanya. Aku tidak sendiri”.
Puas memandangi alam dari balik jendela kamar, kubersiap untuk memulai aktifitasku. Kulangkahkan kakiku menuju kantor. Cukup keluar komplek perumahan lalu menyeberang jalan raya aku sudah sampai di sebuah kantor percetakan tempatku bekerja. Seperti biasa sudah ada Sofia yang tengah asik mengedit foto-foto pelanggan. Sementara itu di sampingnya ada seorang pria yang juga merupakan teman kerja kami, Alif. Di tangannya tampak pena yang ia main-mainkan dan matanya tengah menikmati pekerjaannya mendesain sebuah cover majalah. Kumemperhatikan mereka sambil tersenyum geli.
“Ciye.. ada yang lagi sumringah nih kayaknya”, Sofia meledekku dengan santainya.
“Ah, Alhamdulillah tadi ndak ada ibu-ibu yang mengejekku”, jawabku dengan tersenyum.
“Oh iya, maksudmu SMS misterius itu apaan sih, Nis?”, tanya Sofia lagi.
Aku menengok setiap sudut kantor yang ternyata hanya ada kami bertiga. “Aman untuk bercerita”, batinku.
“Sudah satu pekan aku di SMS sama orang misterius. Setiap hari dia membangunkanku, mengingatkanku shalat, dan memberikan kata-kata motivasi”, ceritaku pada Sofia.
“Lho, bukane malah bagus?”, jelas Sofia.
“Iya, sih. Aku juga berterima kasih karena sudah diingatkan untuk ibadah. Tapi, yang membuatku bingung itu dia selalu tahu apa yang aku kerjakan. Saat aku di taman dia tahu kalau aku di taman. Saat aku sedang bersedih ataupun bahagia, dia juga tahu. Trus masalahnya, siapa orang misterius itu, Sof?”, tanyaku penasaran.
Kulihat Sofia juga tampak kebingungan mendengarkan ceritaku. Kami berpikir cukup lama hingga akhirnya Alif berceletuk, “Sudah-sudah mikir terus nanti kurus lho, hehehehe. Mungkin penggemarmu, Nis. Ayo makan. Waktunya sarapan!”
Aku dan Sofia hendak mengikuti langkah Alif. Namun sepertinya ada sesuatu yang menghentikan langkahku. Ponsel Alif tertinggal di atas meja kerjanya. Awalnya aku tidak ingin mengambilnya dan memberikannya pada Alif. Tapi karena tiba-tiba ponsel itu bergetar, aku segera meraihnya. Tak sengaja kupencet tombol ‘oke’ pada tengah ponsel itu.
Astaghfirullah. Ponsel itu membuka setiap pertanyaan yang selama ini menggantung dalam fikiranku. Di menu ‘kotak kirim’ yang tidak sengaja kubuka itu tersimpan semua pesan-pesan yang sama persis dikirimkan oleh orang misterius yang menerorku. Aku dan Sofia bertanya-tanya dalam hati apa maksud dan tujuan Alif mengirim pesan-pesan itu padaku. Tanpa berpikir panjang kuputuskan untuk mencari keberadaan Alif.
“Taman”, ucapku spontan karena kutahu bahwa Alif suka menghabiskan waktu istirahatnya di taman kecil yang terletak di sudut kantor. Aku melewati setiap koridor kantor dengan langkah yang tergesa-gesa sementara Sofi mempercepat langkahnya mengikutiku.
Aku menemukannya. Alif benar berada di taman. Kuminta Sofi untuk menungguku di lobi kantor sementara aku akan meminta penjelasan dari Alif. Kulihat Alif tengah bersantai dengan segelas es segar yang berada di depannya sementara mata dan tangannya terlihat mencari-cari sesuatu. Kuhampiri ia dengan langkah yang kuperhalus.
“Kamu mencari benda ini?”, kusodorkan ponselnya. Kulihat ia gelagapan mengambil ponsel itu. “Maksudmu apa?”, tanyaku lagi padanya.
Alif mencoba menenangkan dirinya dengan duduk di bangku yang digunakannya untuk bersantai. Sedikit demi sedikit ia mulai menjelaskan semuanya, “Maafkan aku, Nis. Iya, kuakui bahwa akulah orang misterius yang kamu cari sepekan ini. akulah yang mengirimimu pesan-pesan itu. Sungguh aku tidak mempunyai niat buruk. Aku hanya ingin menemanimu meskipun dalam bentuk SMS-SMS yang tidak ada gunanya itu. Saat kamu ke taman, jujur aku memang mengikutimu. Maafkan aku, Nis. Sekali lagi maafkan aku”.
“Lalu apa maksudmu melakukan ini semua di belakangku?”, tanyaku.
“Aku.. Aku mencintaimu, Nis. Sejak kita bekerja di percetakan ini aku benar-benar mengenalmu. Kamu adalah wanita sholehah yang kucari selama ini. Aku sudah ingin mengungkapkan perasaanku cukup lama namun aku terlambat karena kamu telah dikhitbah oleh beberapa pria. Aku ingin menjadi seseorang yang berguna untukmu sehingga aku melakukan hal ini. Maaf jika aku membuatmu terkejut tapi inilah perasaanku”.
Aku hanya terdiam. Seperti ada sebuah pengakuan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Teman kerja yang selama ini tidak pernah kubayangkan mencintaiku mengungkapkan perasaannya. Sedangkan aku merasa tulang kakiku lemas. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Yang pasti, harusnya Alif sadar dengan peristiwa yang telah menimpaku selama ini.
“Kamu aneh, Lif! Kamu tahukan bahwa aku ini adalah seorang pembawa sial. Apa kamu tidak takut mencintai wanita pembawa sial seperti aku ini!?”, tanyaku dengan nada yang tegas dan cukup ketus.
“Tidak. Semua yang menimpamu bukan karena kesalahanmu tapi karena Allah sudah menakdirkan itu semua. Kita ini milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Bukankah itu kalam Allah? Kamu wanita yang paham benar tentang agama. Aku yakin kamu tahu itu. Jika harus meninggalpun aku siap. Namun itu semata-mata karena Allah yang telah berkehendak. Bukan karena kamu”.
Kata-kata dari Alif mendebarkan hatiku. Seorang teman yang selama ini tidak begitu kuperhatikan ternyata memiliki pribadi yang bijak dan bersahaja. Setiap kata yang keluar darinya membuat jantungku semakin berdegup kencang. Aku melihat keseriusan dari wajahnya yang teduh itu.
“Izinkan aku menikahimu”.
“Apa??! Kamu sadar ndak sih, Lif! Kalau kamu menikahiku, kamu akan mati! Kamu mau mati?”
“Astaghfirullah, Nis. Aku tidak pernah memikirkan itu. Yang kutahu aku ingin menikahimu. Izinkan aku menikahimu dan kita buktikan pada orang-orang bahwa kamu bukan pembawa sial. Aku yakin akan bahagia bersamamu”.
Gemuruh langit bersuara. Kami kaku di taman itu tanpa satu jawaban muncul dari lisanku. Gerimis membasahi tubuh kami. Hujan benar-benar semakin menguatkan berjuta rasa yang tidak jelas bentuknya di antara hati kami. Ada sebuah rasa yang disampaikan pria yang terduduk mematung di sampingku namun aku sendiri tidak dapat mengatakan apa yang kurasa. Kumencoba untuk tersadar. Kami telah terlalu lama menjadi korban kristal-kristal yang jatuh mulai deras. Kuputuskan untuk meninggalkan Alif yang masih terdiam di taman. Aku menuju lobi dan mengabaikan keberadaan Sofia yang sejak tadi mengamati kami. Aku berlalu pergi membiarkan setiap kebisuanku bergantung tanpa aral yang pasti.
***
“Nduk, ada nak Alif dan keluarganya di depan. Ingin bersilaturrahim dengan keluarga kita”, kata ibuku.
Semenjak kejadian lusa lalu aku putuskan untuk kembali pulang ke Salatiga. Di rumah ini aku bisa berkumpul dengan ayah, ibu, dan kedua adikku. Setidaknya cukup menenangkan hatiku yang semakin gundah. Tapi tak kusangka Alif ternyata mengetahui keberadaanku. Keseriusannya untuk menikahiku dibuktikannya.
Aku tidak bereaksi sekalipun ibu memintaku untuk keluar menemui Alif dan keluarganya. Aku tak tahu harus senang atau sedih. Senang karena ada pria yang dengan keikhlasannya mengkhitbahku. Sedih karena takut jika Alif akan mengalami hal yang sama dengan ketiga pria yang sebelumnya telah mengkhitbahku. Aku menangis dipelukan ibu. Aku tahu ibu adalah orang yang paling mengenalku. Ibu selalu tahu apa yang kurasakan.
“Nduk, lihatlah ketulusan nak Alif. Ia benar-benar serius untuk menikahimu”.
“Tapi, Bu. Ibu tahukan apa yang terjadi pada semua pria yang mengkhitbahku. Mereka semua meninggal. Aku tidak ingin hal serupa terjadi pada Alif”, aku mulai buka suara.
“Itu semua sudah menjadi takdir Allah. Belum tentu semua yang telah berlalu itu menjadi patokan dalam hidupmu. Hanya Allah yang tahu. Maut itu rahasia Allah”.
“Annisa masih belum bisa melupakan semuanya, Bu. Terutama mas Fahmi. Annisa masih menyayanginya sekalipun Allah telah memanggilnya”.
“Biarkan nak Fahmi tenang dalam surga Allah, Nduk. Itu pertanda bahwa kalian tidak berjodoh. Mungkin untuk mempertemukanmu dengan jodohmu Allah harus mengambilnya pergi. Nak Alif tidak jauh berbeda dengan Nak Fahmi. Dari cerita nak Sofia, Alif orang yang rajin ibadah dan sholeh. Cobalah buka hatimu. Perihal hidup dan mati, tawakkalkan pada Allah”.
Ibu semakin meyakinkan hatiku. Namun hati ini masih berselimut keraguan yang belum terjawab. Haruskah aku menerima pinangan dari Alif, pria yang diam-diam menaruh hatinya padaku padahal tidak pernah sedikitpun hatiku berlabuh pada hatinya?
“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. Kulihat mata ibu memandangku dengan teramat pasti dan menggantungkan harapan besar padaku.
“Baiklah. Doakan Annisa”. Bismillah. Kuputuskan untuk menerima pinangan Alif. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja termasuk Alif. Semua keluarga menerima keputusanku dengan bahagia. Sedikitpun tidak ada ketakutan dari wajah pria yang sebentar lagi akan menjadi imamku itu begitu juga dengan keluarganya. Mereka sangat menerima kehadiranku.
***
Kubuktikan bahwa Allah tidak pernah salah. Semua peristiwa yang lalu itu hanya takdir yang telah dituliskan Allah untuk pria-pria yang sempat mengkhitbahku. Hanya saja orang-orang di luar sana tidak sadar seberapa besar kuasa Allah atas segala sesuatu. Kubuktikan bahwa Alif memang jodohku yang oleh Allah harus kutemui dengan sejuta takdir yang sempat menyiutkan nyaliku.
Begitulah ketika Allah berkalam untuk hamba-Nya. Setelah pernikahan kami berlangsung, Allah masih mengizinkan kami untuk bersama. Tidak ada kematian dan istilah pembawa sial. Allah menetapkan aku menjadi bidadari Alif, seorang pria yang sebelumnya tidak pernah kusangka akan menjadi imamku. Pria yang begitu bersahaja dan sholeh, yang mengajariku untuk dekat dengan Allah. Pria yang senantiasa mendampingiku dalam suka maupun duka. Seorang imam yang mendidikku dengan cinta dan agama yang sempurna.

1 komentar: