Aku menyusuri sepanjang jalan yang
ada di komplek perumahan menuju kantor tempatku bekerja. Kubangan dan jalan
yang masih basah membuatku menjaga langkah.
Di hari yang masih agak mendung itu tampak beberapa pasang mata yang
memandangku cukup sengit. Ada riuh yang kurasakan.
“Eh- Eh, Bu. Hati-hati! Jangan dekat-dekat sama
perempuan itu. Nanti ketularan sial lho. Nanti mati lho! Hihihihi”.
Astaghfirullah. Hati ini terasa sakit sekali.
Kutengok mereka sesekali. Wajahnya seperti seekor singa yang siap menerkamku
dengan garang. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak melihatku yang tidak
berdaya membalas kicauan mereka. Aku mulai tidak tahan sehingga kupercepat
langkahku.
Akhirnya aku sampai di ruangan kerja yang sudah
mulai penuh dengan aktifitas. Sementara itu teman-teman heran melihatku yang
berangkat ke kantor dengan bentuk yang tidak karuan dengan mata yang mulai
sembab.
“Assalaamu’alaykum, ukhti sholihah”, sapa teman
kerjaku yang juga sahabatku, Sofia.
“Wa’alaykumussalam”, kujawab salamnya dengan ketus.
Kusungkurkan kepalaku di atas meja kerjaku. Kuambil
tisu untuk menghapus airmata yang sudah tak bisa kubendung. Aku menangis
berteman hujan yang mulai turun perlahan.
“Nis, ada apa? Kenapa kamu menangis?”
Aku tak menjawab pertanyaan dari Sofia. Aku hanya
menggeleng dan masih mengusap tetesan-tetesan air yang jatuh ke pipiku.
“Ada masalah?”, Sofia bertanya lagi. Aku bangkit
dari posisiku lalu memeluknya. Ia menyambut pelukanku lalu menatap mataku.
Sofia mengulangi pertanyaannya, “Ada masalah?” kali
ini aku mengangguk.
“Sof, apa aku pembawa sial?”, tanyaku padanya.
Sofia terlihat terkejut dengan pertanyaan yang
kulontarkan. Ia mengernyitkan dahinya dan jawaban dari pertanyaanku juga belum
tampak di wajahnya yang teduh, sangat keibuan. Aku mengenal Sofia sejak aku
menjadi karyawan baru di sebuah kantor percetakan yang sekarang menjadi ladang
kami mencari rizki. Wajahnya yang tirus cocok untuk semua jenis jilbab. Itu
membuatnya selalu tampak cantik. Matanya yang kecil dihiasi kaca mata yang
membuatnya tampak semakin manis dan menunjukkan kedewasaannya.
Aku kembali duduk di tempat kerjaku. Dengan tisu
yang masih kugenggam dan wajah yang lumayan belepotan, kumulai bercerita pada
Sofia.
“Tadi waktu aku berangkat ke kantor, ibu-ibu di
komplek perumahan memandangiku dengan sinis. Kata mereka, aku pembawa sial. Aku
bikin orang mati. Buktinya semua laki-laki yang mengkhitbahku meninggal dunia.
Ini semua memang salahku. Aku memang pembawa sial”.
Sofia yang sedari tadi serius menyimak ceritaku
mengembangkan senyumnya kemudian berkata, “Nis, semua itu takdir dari Allah.
Sudah dituliskan oleh-Nya di Lauhul Mahfudz. Bukankan setiap jiwa akan
merasakan mati?”
Aku mengangguk. Sofia melanjutkan perkataannya
sambil mendekapku, “Hanya saja kita tidak pernah tahu kapan dan seperti apa
kita meninggal. Sudah menjadi takdir Allah bahwa semua calon suamimu meninggal
setelah mereka mengkhitbahmu. Itu bukan karena kamu yang membunuh mereka atau
membuat sial. Tapi, memang sudah jalannya dari Allah. Mereka hanya
menyangkut-pautkan saja. Kamu yang sabar ya. Memintalah pertolongan kepada
Allah dengan sabar dan shalat, karena sesungguhnya Allah beserta dengan
orang-orang yang sabar”.
Alhamdulillah hatiku cukup tenang. Namun tak bisa
kupungkiri bahwa diri ini merasa bersalah. Bagaimana tidak? Aku sudah pernah
dikhitbah oleh tiga orang pria yang dikenalkan oleh keluargaku dan mereka semua
meninggal setelah hubungan kami sudah berjalan. Pria yang pertama dan kedua
meninggal karena kecelakaan. Sedangkan pria ketiga, Faris Fahmi, seorang ikhwan
yang juga merupakan seorang motivator muda meninggal karena sakit pada satu
pekan sebelum pernikahan kami berlangsung. Padahal pada pria ini kulabuhkan
hatiku. Ia seorang yang baik, santun, dan sholeh. Namun memang hanya Allah yang
berhak menguasai hati ini. Allah belum mengizinkan hati ini termiliki oleh
siapapun.
Karena peristiwa itu orang-orang menjulukiku
sebagai perempuan pembawa sial. Dari peristiwa itu pula belum ada pria yang
bersedia menjadikanku sebagai istrinya. Aku sadar mungkin memang aku bersalah
dalam hal ini. Salah besar.
***
Malam ini setelah kutunaikan shalat maghrib,
kurebahkan tubuhku di atas kasur kesayanganku. Aku sendiri di kontrakkan kecil
ini. Jauh dari keluarga karena mengadu nasib di Jogjakarta. Tampak dari jendela
mega-mega jingga yang mulai mengantarkan burung-burung kembali ke peraduannya.
Langit terlihat begitu cerah. Sama sekali tidak menampakkan raut kesedihan dan
kekecewaan atas hari ini yang cukup menjemukanku. Perlahan mata ini mulai
terpejam. Namun ponselku bergetar sehingga cukup membuat mataku kembali
terjaga.
Ddddrrrrrrtttt...... ddddrrrrrrttttt.......
“Dari nomor yang tidak kukenal”, gumamku dalam
hati. Aku tak membuka pesan masuk itu. Berkali-kali ponselku bergetar dan masih
dari nomor yang sama. Aku mulai jengkel hingga akhirnya kuputuskan untuk
membukanya.
“Wajahmu tidak pantas jika berteman dengan
kesedihan. Bidadari surga, tersenyumlah meskipun sekeras apapun luka itu”.
Aku mengernyitkan dahiku membaca pesan singkat itu.
Sama sekali aku tidak faham dengan apa yang disampaikan sang pengirim pesan.
“Maaf, ini dengan siapa ya?”
Sudah tiga puluh menit aku menunggu balasan dari
nomor itu namun tidak ada balasan. Hingga tiga puluh menit selanjutnya kuyakin
pesanku dibalas.
“Saya, hanya seorang yang tidak tahu diri, yang
sudah sejak lama mengagumimu”
Aku merasa semakin kacau. “Hmmm, mungkin hanya dari
orang iseng”, batinku. Kulupakan pesan masuk dari orang misterius itu.
Kuputuskan untuk beristirahat dan melupakan semua kejadian yang terjadi hari
ini.
***
Ahad yang kunanti-nanti. Seperti biasa kurapikan
rumah kontrakkanku yang telah disambut oleh cahaya mentari yang berkilau masuk
melalui celah-celah lubang kamarku. Kutata setiap pola yang ada di rumah mungil
ini. Kusapu setiap ruang dan pojok hingga bersih dan rapi. Langkah dan
pandanganku terhenti saat melihat sebuah foto yang berhiaskan figura cantik
disetiap tepinya. Di foto yang tidak begitu besar itu ada potret ayah, ibu,
kedua adikku dan pria yang pernah berjanji untuk menjemputku menjadi
bidadarinya, Fahmi. Kumenghela nafas cukup panjang. Kupandangi setiap gambar
yang terpotret dalam bingkai foto itu. “Ya Allah, lindungi orangtuaku, kedua
adikku dan mas Fahmi. Beri ia tempat terindah di surga-Mu. Aamiin”.
Beres. Semua sudah tampak cantik. Aku merebahkan
tubuhku di sofa yang berada di ruang tengah sekedar untuk melepaskan lelah. Jam
berdetak menunjukkan pukul 10.00. Kuputuskan untuk melaksanakan shalat dhuha.
Aku melangkah dengan langkah gontai menuju tempat wudlu yang berada di sebelah
kanan dapur.
Subhanallah. Air wudlu yang membasahi wajahku ini
terasa sangat sejuk seperti mata air surga. Mampu membersihkan setiap noktah
yang ada di wajahku, menerbangkan setiap penat yang kurasakan begitu berat di
pundakku. Setiap tetesannya memberikan energi padaku untuk tetap tenang dan
sabar dalam menjalani hidup ini. Maha besar Allah yang telah membuat air ini
begitu suci.
“Assalaamu’alaykum warahmatullah..
Assalaamu’alaykum warahmatullah”.
Alhamdulillah aku mendapatkan ketentraman selepas
menunaikan shalat dhuha ini. Semua masalah, pelik dan beban yang sempat
menggelayuti pikiranku menjadi terasa ringan.
Ahad ini kurencanakan untuk pergi ke taman kota
sekedar untuk mencari tempat bersantai. Kugembok gerbang rumahku, kutengok
setiap sudut komplek. Ya, seperti biasa aku selalu disambut oleh ibu-ibu tukang
gosip yang selalu meramaikan langkahku. Kucoba untuk tetap tenang setiap
bertemu dengan mereka. Kubiarkan ocehannya berlalu pergi. Alhamdulillah, aku
bisa mengendalikan emosiku sepanjang menyusuri komplek perumahan.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menjangkau taman
yang kini menjadi tujuanku. Kini aku sedah berdiri pada sisi sebuah danau
buatan yang begitu indah yang terletak di tengah taman. Setiap unsur keindahan
muncul dan beriringan silih berganti di taman yang cukup ramai pada hari ahad
ini. Rumput yang tertata rapi dengan bunga-bunga yang tumbuh hampir di setiap
celah taman membuat taman ini semakin menakjubkan. Disini kuterbangkan
kepenatanku bersama angin semilir yang selalu berhembus menyapaku. Kujatuhkan
setiap gejolak yang ada dihatiku bersama dengan gugurnya daun-daun yang mulai
rapuh diterpa angin. Angin itu tidak bersalah. Ia hanya melaksanakan titah
Tuhan-Nya untuk beradu dengan setiap materi yang lemah dan siap diterbangkan
olehnya kapan saja.
Aku duduk disebuah bangku panjang yang terletak di
bawah pohon cemara yang cukup meneduhkan tubuhku. Sesekali tetesan embun yang
masih bersisa jatuh ditelapak tanganku. Di tengah-tengah posisi santaiku,
lagi-lagi ponselku bergetar. Pesan masuk dari orang misterius yang untuk
kesekian kali mengganggu pikiranku.
“Kamu cantik sekali, Nis. Dibalut gamis abu-abu dan
jilbabmu itu kamu tampak begitu anggun. Tempat ini cocok untukmu. Tersenyumlah
jika di sini kamu telah menemukan duniamu”.
Aku merasa orang misterius itu benar-benar
membuntutiku. Awalnya ingin kuabaikan pesan darinya, namun aku sangat penasaran
padanya. Kutulis sebuah pertanyaan untuknya.
“Maaf, kamu siapa? Dimana? Kenapa kamu selalu
mengetahui gerak-gerikku?”
“Aku di belakangmu”, sebuah balasan tak cukup lama
kudapatkan. Aku menengok ke belakang. Sebuah area permainan anak-anak langsung
menyapa pandanganku. Di keramaian anak-anak itu aku tidak bisa memastikan bahwa
satu di antara orang-orang dewasa yang mendampingi anak-anak di sana adalah
orang yang mengintaiku. “Ya Allah, siapa sebenarnya orang ini?”, tanyaku dalam
hati. Aku merasa semakin tidak nyaman. Ku putuskan untuk pulang sesegera
mungkin.
***
Hari ini aku bangun cukup pagi. Selepas shalat
shubuh aku ingin melihat burung-burung terbang memulai aktifitasnya, daun-daun
dan dahan-dahan yang masih basah karena embun semalam, tanah yang masih wangi
khas dengan rumput-rumput yang juga masih dibasahi oleh embun, serta
bunga-bunga yang bermekaran karena titah Tuhan-Nya. “Maka nikmat Tuhanmu yang
mana lagi yang kamu dustakan?”. Kalamullah itu seketika terlintas dibenakku
melihat betapa nikmat Allah tidak dapat kuhitung saking banyaknya nikmat-nikmat
itu.
“Alhamdulillah aku masih diberi-Nya kesempatan
untuk memulai hari ini dengan ibadah”. Aku bersyukur atas segala yang telah
Allah karuniakan untuk jiwa yang lemah ini. “Allah benar-benar menemaniku
selamanya. Aku tidak sendiri”.
Puas memandangi alam dari balik jendela kamar,
kubersiap untuk memulai aktifitasku. Kulangkahkan kakiku menuju kantor. Cukup
keluar komplek perumahan lalu menyeberang jalan raya aku sudah sampai di sebuah
kantor percetakan tempatku bekerja. Seperti biasa sudah ada Sofia yang tengah
asik mengedit foto-foto pelanggan. Sementara itu di sampingnya ada seorang pria
yang juga merupakan teman kerja kami, Alif. Di tangannya tampak pena yang ia
main-mainkan dan matanya tengah menikmati pekerjaannya mendesain sebuah cover
majalah. Kumemperhatikan mereka sambil tersenyum geli.
“Ciye.. ada yang lagi sumringah nih kayaknya”,
Sofia meledekku dengan santainya.
“Ah, Alhamdulillah tadi ndak ada ibu-ibu yang
mengejekku”, jawabku dengan tersenyum.
“Oh iya, maksudmu SMS misterius itu apaan sih,
Nis?”, tanya Sofia lagi.
Aku menengok setiap sudut kantor yang ternyata
hanya ada kami bertiga. “Aman untuk bercerita”, batinku.
“Sudah satu pekan aku di SMS sama orang misterius.
Setiap hari dia membangunkanku, mengingatkanku shalat, dan memberikan kata-kata
motivasi”, ceritaku pada Sofia.
“Lho, bukane malah bagus?”, jelas Sofia.
“Iya, sih. Aku juga berterima kasih karena sudah
diingatkan untuk ibadah. Tapi, yang membuatku bingung itu dia selalu tahu apa
yang aku kerjakan. Saat aku di taman dia tahu kalau aku di taman. Saat aku
sedang bersedih ataupun bahagia, dia juga tahu. Trus masalahnya, siapa orang
misterius itu, Sof?”, tanyaku penasaran.
Kulihat Sofia juga tampak kebingungan mendengarkan
ceritaku. Kami berpikir cukup lama hingga akhirnya Alif berceletuk,
“Sudah-sudah mikir terus nanti kurus lho, hehehehe. Mungkin penggemarmu, Nis.
Ayo makan. Waktunya sarapan!”
Aku dan Sofia hendak mengikuti langkah Alif. Namun
sepertinya ada sesuatu yang menghentikan langkahku. Ponsel Alif tertinggal di
atas meja kerjanya. Awalnya aku tidak ingin mengambilnya dan memberikannya pada
Alif. Tapi karena tiba-tiba ponsel itu bergetar, aku segera meraihnya. Tak
sengaja kupencet tombol ‘oke’ pada tengah ponsel itu.
Astaghfirullah. Ponsel itu membuka setiap
pertanyaan yang selama ini menggantung dalam fikiranku. Di menu ‘kotak kirim’
yang tidak sengaja kubuka itu tersimpan semua pesan-pesan yang sama persis
dikirimkan oleh orang misterius yang menerorku. Aku dan Sofia bertanya-tanya
dalam hati apa maksud dan tujuan Alif mengirim pesan-pesan itu padaku. Tanpa
berpikir panjang kuputuskan untuk mencari keberadaan Alif.
“Taman”, ucapku spontan karena kutahu bahwa Alif
suka menghabiskan waktu istirahatnya di taman kecil yang terletak di sudut
kantor. Aku melewati setiap koridor kantor dengan langkah yang tergesa-gesa
sementara Sofi mempercepat langkahnya mengikutiku.
Aku menemukannya. Alif benar berada di taman.
Kuminta Sofi untuk menungguku di lobi kantor sementara aku akan meminta
penjelasan dari Alif. Kulihat Alif tengah bersantai dengan segelas es segar
yang berada di depannya sementara mata dan tangannya terlihat mencari-cari
sesuatu. Kuhampiri ia dengan langkah yang kuperhalus.
“Kamu mencari benda ini?”, kusodorkan ponselnya.
Kulihat ia gelagapan mengambil ponsel itu. “Maksudmu apa?”, tanyaku lagi
padanya.
Alif mencoba menenangkan dirinya dengan duduk di
bangku yang digunakannya untuk bersantai. Sedikit demi sedikit ia mulai
menjelaskan semuanya, “Maafkan aku, Nis. Iya, kuakui bahwa akulah orang
misterius yang kamu cari sepekan ini. akulah yang mengirimimu pesan-pesan itu.
Sungguh aku tidak mempunyai niat buruk. Aku hanya ingin menemanimu meskipun
dalam bentuk SMS-SMS yang tidak ada gunanya itu. Saat kamu ke taman, jujur aku
memang mengikutimu. Maafkan aku, Nis. Sekali lagi maafkan aku”.
“Lalu apa maksudmu melakukan ini semua di
belakangku?”, tanyaku.
“Aku.. Aku mencintaimu, Nis. Sejak kita bekerja di
percetakan ini aku benar-benar mengenalmu. Kamu adalah wanita sholehah yang
kucari selama ini. Aku sudah ingin mengungkapkan perasaanku cukup lama namun
aku terlambat karena kamu telah dikhitbah oleh beberapa pria. Aku ingin menjadi
seseorang yang berguna untukmu sehingga aku melakukan hal ini. Maaf jika aku
membuatmu terkejut tapi inilah perasaanku”.
Aku hanya terdiam. Seperti ada sebuah pengakuan
yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Teman kerja yang selama ini tidak
pernah kubayangkan mencintaiku mengungkapkan perasaannya. Sedangkan aku merasa
tulang kakiku lemas. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Yang
pasti, harusnya Alif sadar dengan peristiwa yang telah menimpaku selama ini.
“Kamu aneh, Lif! Kamu tahukan bahwa aku ini adalah
seorang pembawa sial. Apa kamu tidak takut mencintai wanita pembawa sial
seperti aku ini!?”, tanyaku dengan nada yang tegas dan cukup ketus.
“Tidak. Semua yang menimpamu bukan karena
kesalahanmu tapi karena Allah sudah menakdirkan itu semua. Kita ini milik Allah
dan akan kembali pada-Nya. Bukankah itu kalam Allah? Kamu wanita yang paham
benar tentang agama. Aku yakin kamu tahu itu. Jika harus meninggalpun aku siap.
Namun itu semata-mata karena Allah yang telah berkehendak. Bukan karena kamu”.
Kata-kata dari Alif mendebarkan hatiku. Seorang
teman yang selama ini tidak begitu kuperhatikan ternyata memiliki pribadi yang
bijak dan bersahaja. Setiap kata yang keluar darinya membuat jantungku semakin
berdegup kencang. Aku melihat keseriusan dari wajahnya yang teduh itu.
“Izinkan aku menikahimu”.
“Apa??! Kamu sadar ndak sih, Lif! Kalau kamu
menikahiku, kamu akan mati! Kamu mau mati?”
“Astaghfirullah, Nis. Aku tidak pernah memikirkan
itu. Yang kutahu aku ingin menikahimu. Izinkan aku menikahimu dan kita buktikan
pada orang-orang bahwa kamu bukan pembawa sial. Aku yakin akan bahagia
bersamamu”.
Gemuruh langit bersuara. Kami kaku di taman itu
tanpa satu jawaban muncul dari lisanku. Gerimis membasahi tubuh kami. Hujan
benar-benar semakin menguatkan berjuta rasa yang tidak jelas bentuknya di
antara hati kami. Ada sebuah rasa yang disampaikan pria yang terduduk mematung
di sampingku namun aku sendiri tidak dapat mengatakan apa yang kurasa. Kumencoba
untuk tersadar. Kami telah terlalu lama menjadi korban kristal-kristal yang
jatuh mulai deras. Kuputuskan untuk meninggalkan Alif yang masih terdiam di
taman. Aku menuju lobi dan mengabaikan keberadaan Sofia yang sejak tadi
mengamati kami. Aku berlalu pergi membiarkan setiap kebisuanku bergantung tanpa
aral yang pasti.
***
“Nduk, ada nak Alif dan keluarganya di depan. Ingin
bersilaturrahim dengan keluarga kita”, kata ibuku.
Semenjak kejadian lusa lalu aku putuskan untuk
kembali pulang ke Salatiga. Di rumah ini aku bisa berkumpul dengan ayah, ibu,
dan kedua adikku. Setidaknya cukup menenangkan hatiku yang semakin gundah. Tapi
tak kusangka Alif ternyata mengetahui keberadaanku. Keseriusannya untuk
menikahiku dibuktikannya.
Aku tidak bereaksi sekalipun ibu memintaku untuk
keluar menemui Alif dan keluarganya. Aku tak tahu harus senang atau sedih.
Senang karena ada pria yang dengan keikhlasannya mengkhitbahku. Sedih karena
takut jika Alif akan mengalami hal yang sama dengan ketiga pria yang sebelumnya
telah mengkhitbahku. Aku menangis dipelukan ibu. Aku tahu ibu adalah orang yang
paling mengenalku. Ibu selalu tahu apa yang kurasakan.
“Nduk, lihatlah ketulusan nak Alif. Ia benar-benar
serius untuk menikahimu”.
“Tapi, Bu. Ibu tahukan apa yang terjadi pada semua
pria yang mengkhitbahku. Mereka semua meninggal. Aku tidak ingin hal serupa
terjadi pada Alif”, aku mulai buka suara.
“Itu semua sudah menjadi takdir Allah. Belum tentu
semua yang telah berlalu itu menjadi patokan dalam hidupmu. Hanya Allah yang
tahu. Maut itu rahasia Allah”.
“Annisa masih belum bisa melupakan semuanya, Bu.
Terutama mas Fahmi. Annisa masih menyayanginya sekalipun Allah telah
memanggilnya”.
“Biarkan nak Fahmi tenang dalam surga Allah, Nduk.
Itu pertanda bahwa kalian tidak berjodoh. Mungkin untuk mempertemukanmu dengan
jodohmu Allah harus mengambilnya pergi. Nak Alif tidak jauh berbeda dengan Nak
Fahmi. Dari cerita nak Sofia, Alif orang yang rajin ibadah dan sholeh. Cobalah
buka hatimu. Perihal hidup dan mati, tawakkalkan pada Allah”.
Ibu semakin meyakinkan hatiku. Namun hati ini masih
berselimut keraguan yang belum terjawab. Haruskah aku menerima pinangan dari
Alif, pria yang diam-diam menaruh hatinya padaku padahal tidak pernah
sedikitpun hatiku berlabuh pada hatinya?
“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal
itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik
bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. Kulihat mata ibu
memandangku dengan teramat pasti dan menggantungkan harapan besar padaku.
“Baiklah. Doakan Annisa”. Bismillah. Kuputuskan
untuk menerima pinangan Alif. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan
diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja termasuk Alif. Semua keluarga
menerima keputusanku dengan bahagia. Sedikitpun tidak ada ketakutan dari wajah
pria yang sebentar lagi akan menjadi imamku itu begitu juga dengan keluarganya.
Mereka sangat menerima kehadiranku.
***
Kubuktikan bahwa Allah tidak pernah salah. Semua
peristiwa yang lalu itu hanya takdir yang telah dituliskan Allah untuk
pria-pria yang sempat mengkhitbahku. Hanya saja orang-orang di luar sana tidak
sadar seberapa besar kuasa Allah atas segala sesuatu. Kubuktikan bahwa Alif
memang jodohku yang oleh Allah harus kutemui dengan sejuta takdir yang sempat
menyiutkan nyaliku.
Begitulah ketika Allah berkalam untuk hamba-Nya.
Setelah pernikahan kami berlangsung, Allah masih mengizinkan kami untuk
bersama. Tidak ada kematian dan istilah pembawa sial. Allah menetapkan aku
menjadi bidadari Alif, seorang pria yang sebelumnya tidak pernah kusangka akan
menjadi imamku. Pria yang begitu bersahaja dan sholeh, yang mengajariku untuk
dekat dengan Allah. Pria yang senantiasa mendampingiku dalam suka maupun duka.
Seorang imam yang mendidikku dengan cinta dan agama yang sempurna.